RINGKASAN ISI SUREK GALIGO
SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA
1.
Sawérigading mendatangi isterinya yang bernama I Wé Cudai
memberitahukan bahwa anak angkatnya yang bernama La Mappanyompa
mengundangnya ke Senrijawa untuk menghadiri uapacara yang diadakan oleh
saudaranya.
2. Utusan pembawa undangan itu juga mengundang anak datu
tujuh-puluh, sambil mengatakan bahwa sejak bulan lalu dia mengantar
juga undangan ke Tompo Tikka, Singki Wéro dan Lau Saddeng.
3. Anak
datu tujuh-puluh sedang asyik menyabung ayam di gelanggang, sedang Wé
Tenridiyo yang bergelar Batari Bissu anak Sawérigading yang dinasibkan
menjadi bissu sejak kecil, menengadah ke langit berkomunikasi dengan
orang kayangan suami langitnya yang bernama To Sompa Riwu.
4. To
Sompa Riwu turun dari langit menjemput Wé Tenridiyo menaikkannya ke
Boting Langi. Dalam perjalanannya ke Boting Langi, dia melihat dunia
yang ditinggalkan itu besarnya hanya bagaikan sebua kempu.
5. Setiba
Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang
besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang
mengadakan upacara di Senrijawa.
6. Wé Tenridio meminta kepada
suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan
upacara seppunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.
7.
Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang
anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan
Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.
8. To Sompa Riwu meminta kepada
Wé Tenridiyo agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan
dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.
9. Wé Tenridiyo pun
menampakkan diri dan dijemput oleh Wé Tenribali, tetapi karena tidak mau
duduk kalau bukan tikar-guntur yang diduduki sedang di Senrijawa tidak
ada tikar yang demikian, maka neneknya yang ada di Boting Langi segera
menurunkan tikar-guntur untuk diduduki oleh We Tenridiyo.
10.
Bagaikan bara menyala kelihatan di dalam bilik tikar-guntur yang
diturunkan dari langit itu. (ceritera tidak bersambung seperti ada
halaman hilang)
11. Setelah selesai menyabung ayam di gelanggang, To
Sompa Riwu yang bergelar Datunna Soppéng, masuk ke dalam bilik, Wé
Tenridiyo tidak nampak. Rupanya dia sedang turun mandi pada piring
manurung, tidak mau berhenti.
12. Datunna Soppéng menanggalkan
pakaiannya lalu melompat masuk ke dalam air untuk menjemput isterinya,
tetapi tidak bisa di tangkap karena bereobah menjadi bayangan.
13.
Datu Soppéng membujuknya, khawatir nanti sakit isterinya, tetapi We
Tenridiyo tidak mau. Dia mau berhenti mandi kalau dijaring dengan sarang
laba-laba yang tali penariknya dari seutas rambut. Sampai tengah malam
mereka berdua terus terapung di atas air.
14. Datu Wéttoing di
Boting Langi memaklumi hal ini. Segera memerintahkan agar laba-laba emas
dikeluarkan dari sarangnya untuk membuat sarang dan mencabut selembar
rambutnya sebagai tali penariknya untuk menjala Wé Tenridio
15.
Dengan perasaan geli dia menerima dan memperhatikan jala sarang
laba-laba emas itu, diapun menjala isterinya, menaikkannya kemudian
mengganti pakaiannya lalu pergi tidur. Tidur berbulan madu sepanjang
malam.
16. Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak
datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke
Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa
adalah anak angkat Sawérigading.
17. Dalam pelayarannya ke
Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya
Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari
mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang
didapat.
18. Sawerigading pun mengatakan, ’’Tak sampai hatiku
memakan buah mangga ini tanpa ibu Wé Tenridiyo (I Wé Cudai). Antarlah
buah ini ke Latanété supaya dia makan saja dengan anaknya.’’
19.
Sesampai di Latanété, Ladunrung Séreng memberikan buah itu kepada I Wé
Cudai sambil menyampaikan pesan. I Wé Cudai menerimanya sambil
menitipkan juga makanan kesukaan Sawérigading.
20. Di tengah laut
bertemulah rombongan perahu To Palennareng yang juga akan menuju ke
Senrijawa, sebagai pengganti diri Batara Lattuk orang tua Sawérigading,
yang tidak berkesempatan hadir.
21. To Padamani (La Galigo)
menatapkan mata memperhatikan keberangkatan perahu La Tenroaji itu
sambil berkata, ’’Memang cantik sekali kelihatan Wé Tenriolle isteri La
Tenroaji tadi. Mudah-mudahan dia bercerai, lalu aku
memperisterikannya.’’
22. Tertawa orang semua, To Appemanuk juga
mengatakan, ’’Mengapa engkau mencintai orang yang lebih tua dari ibumu.
Mudah-mudahan engkau beruntung Galigo, engkau dapat mrngawininya kalau
dia bercerai dengan suaminya.’’ La Mssaguni juga berkata, ’’Kalau
demikian, Wé Walek itu dinasibkan tak jauh dari orang Luwu, karena
Sawérigading juga pernah kawin sembunyi dengan dia sewaktu kecilnya.
23.
Rupanya sudah dinasibkan anaknya lagi mengganti bapaknya, melilitkan
lengan pada pinggang Wé Walek serta membantalkan pada lengan La
Galigo.’’
24. Berteriak bergembira semua di sekeliling perahu
Lawélenréng. Bagaikan mau tumpah air laut. To Palennareng mengatakan,
’’Rupanya kau Opunna Warek, sudah menyerahkan kekuasaan besarmu, jabatan
kekuasaanmu, kedudukan tinggimu kepada To Botoé (La Galigo).’’ Dijawab
oleh Sawérigading bahwa memang La Galigolah yang sudah dinaungi payung
manurung memerintah kolong langit, permukaan bumi.
25. ‘’Sayang
sekali engkau tidak mengizinkannya ke Luwu bertemu dengan kedua Sri
Paduka orang tuamu yang sudah lama sekali mereindukanmu,’’ Ujar To
Palennareng. Dijawab oleh Sawérigading, ’’Saya tak dapat berpisah dengan
dia. Mudah- mudahan keturunannya nanti yang dapat menggantiku ke
Luwu.’’
26. Rupanya ada utusan Opunna Wadeng menunggu di tengah laut
menjemput dan mempersilahkan Sawérigading singgah dahulu di Wadeng untuk
menikmati perjamuan Wé Tenrirawé isteri Opunna Wadeng, sepupu sekali
Sawerigading. Nanti bersama sama dengan rombongannya menuju ke
Senrijawa.
27. Penjemputan dipersiapkan secara besar-besaran. To
Palennareng bertanya kepada Sawérigading tentang ucapannya dulu mau
mengawini Wé Tenrirawé, sepupu sekalinya yang telah diperisterikan oleh
Opunna Wadeng.
28. Sawérigading memberi jawaban bahwa keinginannya
itu dibatalkan setelah dia memperisterikan I Wé Cudai. Memang sebelum
itu, pikirannya tak pernah melupakan kecantikan Wé Tenrirawé.
29.
Rombongan Sawérigading sudah mendekat di pantai Wadeng. Akan dijemput
secara besar-besaran. Tak berhenti-hentinya senapan dibunyikan. Bunyi
gendang kerajaan dipukul bertalu-talu pertanda bahwa keturunan manurung
di Luwu akan tiba di pelabuhan
30. Bagaikan banjir datangnya
penjemput di pantai. Opunna Wadeng datang dengan segera, bergegas tanpa
menaiki usungn keemasan lagi.
31. Sawérigading terheran-heran sambil
bertanya kepada La Sinilélé, ’’Mengapa keadaan laut di luar pantai
Wadeng jauh sekali bedanya dengan keadaan waktu kita datang pada
beberapa tahun yang lalu.’’ Dijawab oleh La Sinilélé bahwa memang kita
masuk dari arah yang lain. Kita ini melalui simpang arus laut yang
angker.
32. Kelihatan tinggi melangit arus yang berpapasan. Kabarnya
di sinilah biasa berkubur perahu besar pelaut. Sawérigading berkata,
’’Mari kita tantang keangkeran samudra ini, supaya penghuninya jangan
merasa sombong terus.’’
33. Perahu rombongan Sawérigading menerobos
arus pusaran air raksasa yang diiringi kilat guntur dan petir yang
menyebabkan perahu rombongan Sawérigading tertahan dihantam arus.
34.
Sawérigading mengeluarkan ilmu dari tempat sirihnya yang dapat
menghembuskan topan, petir halilintar ke laut. Rombongan perahunya dapat
melalui gunungan air laut yang biasa ditakuti orang untuk melaluinya
sekalipun mereka adalah anak dewa. Tertawa saja La Tenripeppang yang
sedang berada di pantai menyaksikan hal itu.
35. Demikian tinggi
gunung air laut itu, sampai Sawérigading dapat melihat Jawa Timur dan
Jawa Barat, Sama Barat dan Maloku. To Palennareng mengatakan kapada
Sawérigading bahwa kalau melihat istana Maloku dan Ternate itu terbayang
lagi di hatiku istana La Maddaremmeng waktu kita ke sana.
36.
Kenangan itu menyebabkan air mata Sawérigading berlinang linang,
mengenang keberadaannya dulu di sana, waktu bertemu perempuan yang
bernama Wé Tabacina.
37. Kecantikannya bagaikan anak dewa yang turun
dari langit. Suatu malam sesudah makan malam, Wé Tabacina membereskan
tempat peraduan Sawérigading.
38. Dibisikkan kepadanya waktu itu
bahwa sebenarnya badan ratu yang diinginkan jadikan bantal, dijawab
olehnya bahwa siapa lagi yang harus ditaati keinginannya selain orang
besar. Diapun tertawa Sawérigading juga terlena, lalu berangkat bersama
masuk ke kamarnya.
39. Keesokan paginya sebuah piring nasi mereka
berdua Sawérigading mengucapkan bahwa andai dia kembali ke negerinya,
dia akan merana dirindu khayal di tengah malam karena mengingat rindu
bersamanya di tengah malam. Mungkin salah satu obat untuk mengtasinya
adalah membuka jendela dan menjenguk melepaskan pandangan mata kearah
Maloku.
40. Dijadikan buah mulut bahwa Wé Tabacina orang Maloku itu
tak dinasibkan oleh To Palanroé duduk berjodohan dengan Sawérigading.
Diapun menjawab bahwa akan dikenang dan disimpan di dalam perutnya,
katakan saja ibunya di Maloku itu mau meletakkan jabatannya untuk
Sawérigading tetapi dia tidak mau.
41. Sawérigading mengatakan bahwa
makananpun tak dapat kutelan, tak mau lewat di kerongkonganku karena
selalu mengenang si cantik molek lagi sangat manis yang pandai
mengeluarkan ucapan dan cendekia berfikir itu. Sawérigading menatapkan
mata terus arah di mana letaknya istana Maloku itu.
42. Gembira
sekali I La Galigo setelah selamat melintasi gunungan air laut dan
pusaran papasan pusaran air laut yang angker itu. Rembang tengah hari,
rombongan perahu sudah sampai berlabuh di pantai Wadeng, dijemput
dengan letusan senapan yang bunyinya bagaikan petir bersambungan.
43.
Segera saja Sawérigading naik di pantai digeserkan orang untuk berlalu.
Duduk bersama Sawérigading dengan La Tenripeppang, disuguhi sirih
sambil mendengar ucapan kuur semangat orang Wadeng kepada Sawérigading
atas keikhlasannya singgah dahulu di Wadeng sebelum meneruskan
pelayarannya ke Senrijawa.
44. Sudah mendekat juga perahu Lawélenreng
tumpangan raja muda La Galigo yang sudah diserahi jabatan menjadi yang
dinaungi payung di Luwu. Segera juga dijemput untuk turun ke darat.
45.
Kuur semangat diucapkan kepada La Galigo sebagai tamu kehormatan,
sebagai tanda gembira. Opunna Wadeng memberi hadiah kepada La Galigo
sebuah kampung yang bernama Wadeng Barat yang ditempati gunung emas
dapat mengeluarkan emas murni, berpianak bagaikan kerbau. La Galigo
dipersilahkan naik ke darat untuk bertemu dengan bibinya (Wé Tenrirawe
sepupu sekali Sawérigading)
46. Rombongan La Galigo naik ke darat
memenuhi pantai dengan pakaian indah dijemput dengan bunyi-bunyian
aneka mcam. Tujuh puluh usungan emas mengiringinya
47. Dijemput
dengan upacara bissu oleh Puang Matowa. Bagaikan petir guntur suara
letusan senapan sebagai maklumat bahwa tunas dewa menginjak negeri.
Gendang emaspun dibunyikan, sekali pukul tujuh kali bergema, gemanya
sampai ke langit.
48. Kedengaran juga di seluruh permukaan bumi.
Berseliweran orang banyak bagaikan mau runtuh tanah di negeri Wadeng,
diberlalukan melalui pancangan umbul-umbul serta diperpatahkan bambu
emas.
49. Orang banyak mengagumi kegagahan kegantengan Sawérigading,
sambil mengatakan bahwa beruntung sekali orang yang, sedang La Galigo
adalah orang muda yang tiada tolak bandingannya, mudah-mudahan beliau
mau kawin di negeri kita ini
50. Sudah sampai Sawérigading dan La
Galigo di depan istana. Tujuh puluh macam alat perupacaraan yang
dipergunakan Wé Tenrirawé ibu La Mappanyompa. Dia mengangkat talam,
menaburkan bertih emas waktu menginjak tangga.
51. Bergumam semua
orang banyak menyaksikan ketururunan dewa dua beranak. Ibu La
Mappanyompa mengucapkan, ’’Kuur jiwamu Opunna Warek, semoga tetap
semangat kehiyanganmu, naiklah di istanamu, kupersilahkan semua wahai
anak datu tujuh-puluh.’’ Bagaikan topan gemuruh suara tannga yang
dilalui.
52. Bergandengan tangan Opunna Warek dan La Galigo memasuki
ruang tengah. Penuh sesak istana, dikipas-kipasi oleh dayang-dayang. We
Tenrirawé sendiri yang menyuguhkan sirih kepada Sawérigading dua
beranak.
53. Sawérigading menjemput sirih pada sepupunya, sedang La
Tenripeppang mengangkatkan tempat sirih kepada To Appémanuk dan anak
raja pendamping lainnya.
54. Ada tiga ratus pelayan mulia meladeni
para tamu. Berseliweran kawah emas tempat bahan makanan para tamu
undangan dan orang banyak. Wé Tenrirawépun mempersilhkan makan.
55.
’’Nikmatilah kalian hasil tanahmu di Wadeng.’’ Orang Wadeng
mempersilahkan makan sambil mengatakan, ’’Silahkan makan kalian,
terimalah juga pemberian kami yang berupa ribuan juak berpontoh, pontoh
emas, kado berisi tenunan Melayu.
56. Tak ada perbedeaan Wadeng,
Luwu dan Alé Cina. Nikmatilah kalian isi hidanganmu, hanya demikianlah
perjamuan orang yang dihanyutkan, orang buangan.
57. Orang yang
terbuang di rantau tak ada sanak saudaranya.’’ Pamadeng Letté
(Sawerigading) menangis sambil berkata mengatakan, ’’Kita senasib wahai
adikku, terbuang bagaikan daun kayu yang diterbangkan angin.’’
58.
’’Kuur semangat dan jiwamu dua bersepupu sekali. Jangan demikian
ucapanmu. Tidak ada tempat di permukaan bumi yang bukan milik manurung
di Alé Luwu dan Tompo Tikka.’’ Ujar La Tenripeppang Opunna Wadeng.
59.
To Palennareng yang sudah datang juga dari Luwu menyampaikan bahwa
kedatangannya di Waden adalah mewakili Paduka Raja tuanmu di Aleé Luwu,
karena La Mappanyompa datang juga ke Luwu memanggilnya untuk menghadiri
upacara di Senrijawa.
60. Paduka Raja tuanmu di Luwu mengatakan bahwa
walaupun hanya salah satu anak Sawérigading yang ditempatkan di Luwu,
senanglah rasa rindu sedihku. Sawérigading sendiri belum pernah
terbayang walaupun hanya berupa mimpi di pelupuk mataku.
61. Selesai
makan, para tamupun membersihkan tangannya. Sawérigading bertanya
kepada Wé Tenrirawé tentang Tompo Tikka. We Tenrirawé menjawab bahwa
telah diutus orang pergi memanggilnya tetapi hanya dia jawab bahwa
Pallawa Gauk saja yang disuruh ke Senrijawa menghadirinya (putus cerita
di sini, barangkali ada halaman yang hilang)
62. La Massarasa (anak
Pallawa Gauk) yang akan singgah nanti di Senrijawa. Dia tidak sempat
karena kebetulan akan turun dari langit saudara La Massarasa yang
berjodohan dengan orang Boting Langi, La Opu Letté anak sulung We
Tenriabeng.
63. To Appanyompa (Sawérigading) bertanya kepada Wé
Tenrirawé, apakah selama dia berada di Wadeng, orang tuanya belum pernah
datang dari Tompo Tikka. Bagi dia sendiri, Paduka Raja di Luwu mau
datang menemuinya di Cina tetpi karena dipantangkan oleh dewa disebabkan
karena angkernya sumpah yang pernah diucapkan ’’tidak mau kembali lagi
ke Luwu’’.
64. Orang tuaku pernah datang kesini dengan Pallawa Gauk
memanggilku kembali ke Tompo Tikka, jawabanku kepadanya hanyalah supaya
dia melahirkan saja lagi putri mahkota lalu engkau berikan namaku
kepadanya. Kukatakan juga kepadanya bahwa masih terbayang di benakku
engkau alirkan aku di laut, supaya kelak aku mati saja di tengah laut.
65. (tidak ada halaman ini)
66.
Meremas jari saja keduanya sambil mengucapkan kuur semangat kepadaku.
Dia juga mengatakan kalau tidak mau tinggal di Tompo Tkka, tinggal saja
di Sawang Megga.
67. Aku juga dijanjikan kalau saya mau menjadi
penguasa di langit. Walau aku akan mati, aku tidak mau kembali lagi.
Bayangankupun tak mau lagi melihat Sawang Megga. Andai aku bercerai
dengan orang Wadeng, biarlah aku membuang diri saja ke tempat lain.
68.
Tujuh bulan lamanya tinggal di Wadeng, bahkan meminta aku merangkap
kekuasaan di Wadeng dan Tompo Tikka. Dia minta juga La Mappanjompa.
Hanya dia bawa To Sibenngareng dengan janji nanti sesudah diadakan
upacara ’’ripaenrek raga-ragana’’ baru dikembalikan ke Wadeng.
69.
Bahkan waktu Pallawa Gauk kawin dengan orang Boting Langi, lalu
isterinya diturunkan ke Tompo Tikka untuk melahirkan, La Massarasa anak
laki-lakinya keluar dengan selamat, sedang kembar perempuannya tidak mau
keluar dan menurut dukun akan mati bersama dengan ibunya kalau bukan
bibinya yang telah dibuang itu datang mengupacarainya.
70. Rasa
ketakutan menimpa diri yang dipertuan Wé Adiluwu. Segera datang lagi
diangkut angin berembus, angin malam dan fajarnya sangat mengharapkan
kedatanganku, jawabanku hanyalah walaupun engkau akan membunuhku, aku
tak mau menginjakkan kakiku di Sawang Mégga.
71. Segera kembali ke
Tompo Tikka diangkut oleh angin karena ada pesan supaya segera kembali,
menantunya dalam keadaan sakarat. Keesokan harinya tangga emas We
Tenriabeng diulurkan dari langit menjemputku untuk naik segera ke Boting
Langi. Dengan air mata bercucurannya dia memohon kepadaku untuk turun
ke Tompo Tikka mengucap anazar agar anaknya hidup selamat dengan
bayinya.
72. Oleh karena aku menyatakan maaf sebesar-besarnya, aku
tak mungkin lagi ke Tompo Tikka, Wé Abéng mengharapkan lagi walaupun
hanya sekejap saja. Aku menjawabnya bahwa kalau demikian biarlah aku
mengirim pengganti diri saja bernazar ribuan ekor kerbau cemara.
73.
Aku akan menjanjikan nazar besar walaupun aku kehabisan harta nazar asal
selamat saja Karaéng Mégga dengan bayinya. Wé Tenriabéng mendesak lagi
walaupun hanya sekejap saja, asal saya sudah mengucapkan nazar, lalu
kembali.
74. To Létteilek pun mengatakan bahwa kalau demikian biarlah
kita jemput saja naik ke langit bersama dengan Wé Adiluwu supaya
menyaksikan menantunya. Pancai Wéropun sudah datang diantar oleh petir
Guntur. Disempurnakanlah perupacaraannya dan meluncurlah keluar bayi
raja itu dengan selamat.
75. Hambamu La Mappanyompa ingin bertunangan
dengan bayi raja itu, tetapi Bissu Rilangi mengatakan engkau tak
senasib dengan dia karena dia lahir di Boting Langi, akan mewarisi
istana Anné Riwéléwélé Essoé di Ruwang Letté.
76. Tujuh malam aku di
Ruwang Letté bersama Pallawa Gauk. Kabarnya setelah bayi diupacarakan
turun juga dari langit Opu Batara, akan kawin di Sawang Mégga. Sesudah
perkawinannya dia mapparola ke Ruwang Letté dan akan turun lagi menjadi
tamu di Tompo Tikka.
77. Para aparat dari daerah bawahan berkun jung
ke Wadeng, akan datang semua melihat dan menjamu Sawérigading dan La
Galigo. Opunna Warek turun ke gelanggang menyabung ayam bersama dengan
anak datu tujuh-puluh.
78. Sudah datang juga rombongasn Wé Pawawoi
saudara perempuan Opunna Wadeng, orang cantik dari Majang Bombang
diiringi dengan alat perupacaraan lengkapnya. Pamadeng Letté
(Sawérigading) sangat tertarik pada orang itu, karena bentuk mulut
merapatnya, badan menggiurkannya, sama juga dengan kecantikan I Wé Cudai
Daéng Risompa.
79. Pendamping Opunna Wadeng mengatakan bahwa pada
waktu datangnya Wé Tenrirawé di Wadeng, orang mengatakan sudah ada dua
bulan purnama muncul di Alé Wadeng. Sawérigading sendiri menyuguhkan
sirih kepada Wé Pawawoi.
80. Wé Pawawoi mengatakan bahwa dia membawa
harta kepada To Botoe (La Galigo) untuk dijadikan taruhan sabungan nanti
di Senrijawa.
81. Di dalam hati Sawérigading mengatakan sudah ribuan
perempuan yang kulihat, belum ada yang sama dengan I Wé Cudai kecuali
Wé Pawawoi. Sudah tiga malam keberadaan Sawérigading di Wadeng, sudah
penuh sesak tamu dari luar daerah di Senrijawa. Banyak istana yang
dipersiapkan untuk tamu undangan itu.
82. Tamu undangan didjemput
dengan tari bissu melalui barisan pancangan umbul-umbul serta dipatahkan
bambu emas di depan rombongan Sawérigading dan Opunna Wadeng. Membanjir
datangnya tamu di pelabuhan perahu
83. Penghuni istana Senrijawa turun semua menjemput dengan pakaian kebesarannya. Ramai sekali perupacaraan penjemputan.
84.
Sudah ramai peradatan perupacaraan penjemputan bissu-bissu yang
mengiringi usungan keemasan dinaungi payung emas. Gendang kerajaan
dibunyikan terus menerus.
85. Sudah turun semua dari usungannya, para
penjemput kerajaan yang diiringi ribuan inang pengasuh. Wé
Tenrisumpalak turun ke perahu menjemput orang tuanya.
86. Sujud
menyembah La Mappanyompa pada ayah angkatnya (Sawérigading).
Sawérigading sendiri menyuguhkan sirih dan memangku anak La Mappanyompa
sambil menjanjikan hadiah sebuah negeri makmur.
87. Anak yang
dipangku itu mengatakan tidak usah diberikan hadiah negeri makmur,
tetapi berikan minyak wangi penyapu badan dari langit, akan kupakai
apabila kelak aku kawin, supaya dapat dicium oleh semua orang yang
hadir..
88. a.Sawérigading akan memberikan minyak yang dapat
mengharumi kolong langit dan permukaan bumi, bahkan merangsang keluar
langit. Daéng Patappa mengatakan bahwa apakah ucapan Paduka Tuan itu
bukan hanya janji pemain judi atau hanya ucapan Opu penybung. (88.b.)
Bukan hanya janji-janji kuucapkan kepadamu, nanti di istana
kuperlihatkan kepadamu. Pandai sekali berbicara anak ini. Andai kata
belum banyak tunangan La Galigo, aku kawinkan dengan Daéng Patappa.
89.
Bagaikan saja orang tua mengeluarkan ucapan. Sudah datang juga
rombongan dari Ternate, Marapettang. Disapa semua oleh Sawérigading
dengan ucapan selamat datang, syukur atas kedatangnnya semua.
90. To
Sibenngareng mendatangi semua perahu. Tertegun orang semua menyaksikan
kecantikan Tenrisumpalak yang bagaikan anak dewa turun dari langit
91.
Dibunyikanlah gendang manurung pengumpul orang banyak. Saling
bersibukan penghuni perahu naik ke darat. Diumumkanlah agar disiapkan
perupacaraan-raja,kelengkapan persalinan dan hiasan usungan Opunna
Warek, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh. Bagaikan saja bunyi kayu
bergesekan suara usungan.
92. Iring-iringan peralatan bissu sudah
mulai dipungsikan. Dipikullah gendang manurung yang berbunyi bagaikan
Guntur membahana menggetarkan kolong langit permukaan bumi.
93.
Sekali pukul saja tujuh kali bergetar suaranya mengelilingi bumi,
menelusuri kayangan didengar di Boting Langi, menggelegar di Péréttiwi
sebagai maklumat bahwa tunas manurung di Alé Luwu sedang menghadiri
upacara besar.
94. Bergumam semua orang kampung mengatakan bahwa belum pernah menyaksikan hal yang sedemikin ini.
95.
Para raja penguasa yang diundang sudah sampai di tempat upacara.
Masing-masing menebarkan harta yang banyak. Gadis-gadis perempuan
pingitanpun menjenguk dari jendela menyaksikan kedatangan para penguasa
dari seberang lautan itu.
96. Para perempuan pingitan itu tidak dapat
membayangkan bagaimana nikmatnya menjadi isteri seketiduran dengan
orang yang segagah dan seganteng, bagaikan mulus buluh-telang lengannya,
bagaikan nampak makanan yang langgar melalui kerongkongannya. Tujuh
ribu kerbau dipanggang untu santapan tamu undangan itu.
97. To
Appanyompa (Sawérigading) mengingat janjinya, lalu memberikan minyak
harum kepada kemanakannya. Keharumannya menyebar di kolong langit
permukaan bumi.
98. Cenrara Langi berterima kasih atas pemberian Opunna Warek itu sambil mempersilahkannya turun ke gelanggang sabungan.
99.
Cenrara Langi juga menyuruh mengeluarkan minyak yang diberikan oleh
Sawérigading, harum-haruman di para-para loteng untuk dibagi-bagikan.
100. Harum-haruman itu diterima oleh Cenrara Langi dari Sawérigading.
101. Para undangan sudah turun ke gelanggang untuk mengadakan sabungan kecuali Sawérigading karena masih merasa letih.
102.
Para pengiring dan pendamping Sawérigading turun semua ke gelanggang.
Ramai sekali sabungan. Sudah tiba pula kelompok To Padamani (La Galigo)
dengan ratusan juak andalan pengikut pengiringnnya.
103. Rombongan
raja-raja lainpun sudah tiba dengan pengiring yang berpakaian kilau
kemilau. Sudah datang juga I La Galigo To Kellinngé. Raja ini walaupun
sudah tidur satu selimut dengan isterinya, tiba-tiba teringat dan
terbayang di kepalanya tentang kemenangan ayam mulianya, bangun saja
menari melenggangkan badan, meliukkan lengan mulusnya di atas kasur.
104.
La Galigo mau melihat bagaimana To Kellinngé itu menari kalau ayam
mulianya menang. Diapun mengajaknya mengadu ayam di gelanggang.
105.
Pada mulanya I La Galigo To Kellinngé tidak mau mengadu ayam dengan
remaja seperi La Galigo itu. Tetapi atas permintaan La Galigo supaya dua
nama yang sama dapat nampak di atas panggung disaksikanoleh orang
banyak, diapun mengiakannya.
106. To Tenriwalek (I La Galigo To
Kllinngé) mengabulkan permintaan La Galigo. Diapun sudah siap naik di
panggung sabungan, diangkutkan ayam mulianya, sedang La Galigo memilih
ayam bodohnya sudah siap menyusul naik di panggung sabungan.
107.
Masing-masing mengasah tajinya, membulang memasang gajungnya kemudian
bersama-sama naik di panggung disaksikan juga oleh penghuni istana.
Aduan ayampun dimulai. Tujuh kali saja saling menggelepur, ayam Datunna
Cina mati terkapar. Menari melengganglah Datunna Kelling mengibaskan
berkeliling destarnya, hampir menginjak saja ujung sarung To Padamani.
108.
Turut tertawa geli-hati anak datu tujuh-puluh menyaksikan tariannya. La
Galigo mengajak lagi bertaruh dengan aduan ayamnya. Sudah berseliweran
orang banyak memasang taruhan.
109. Tiga kali saja saling
menggelepur, mati terkaparlah ayam mulia Datunna Kelling. Giliran La
Galigo lagi mengayun melambaikan destarnya, disaksikan jengukan gadis
pingitan di jendela istana.
110. Bagaikan mau runtuh pohom wodi
karena teriakan. Gadis pingitanpun mempercakapkan tentang kegagahan,
ketampanan dan kegantengan To Sessunriwu (La Galigo) yang bagaikan bulan
purnama, hanya disayangkan dia bersifat angkuh dan sombong memandang
enteng saja raja sesamanya.
111. Ramai sekali sabungan, belum selesai
yang satu, naik lagi yang berikutnya. Beronggok menggunung bangkai
ayam, mengiris kaki patahan taji yang bertebaran. Hari mulai malam baru
berhenti sabungan itu.
112. Sudah kebanjiran surat cinta sembunyi To
Padamani dari gadis-gadis pingitan. Hampir habis hasil taruhannya
diberikan kepada gadis-gadis pilihan yang dirayunya.
113. To Sompa
Bonga mengajak La Iweng menuju ke Senrijawa. Berangkatlah rombongan
orang Létenriwu menuju ke Senrijawa dan Pajung Bannaé di Limpo Majang.
114.
Membanjir keberangkatannya dengan pakaian yang indah, diiringi dengan
perupacaraan bissu, diangkatkan ketur peludahan buangan sepah sirihnya.
115.
Sudah ramai sabungan di Senrijawa, turunlah Opunna Warek dengan pakaian
kebesaran kehiyangannya, pergi duduk berdampingan dengan anaknya,
didampingi oleh aparat kerajaan juaknya.
116. Bagaikan saja danau
yang meluap payung emas naungannya. Sudah tiba pula Pajung Mpéroé dari
Léténgriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang terus duduk di hadapan
Opunna Warek.
117. Berdampingan duduk semua para bulan purnama
sangiyang. Dapat disksikan duduk bersama ; Opunna Warek, Opunna Cina,
Pajung Mpéroé dari Léténriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang.
118.
Saling mengadu ayam para orang besar. Tak kedengaran lagi ucpan mulut
orang banyak. Gendang berdengung-dengung dan upacara bissu di istana,
teriakan pemain judi memekakkan telinga di gelanggang. Sudah
disempurnakan upacara untuk ’’juruk’’ yang ditempati acara upacara.
Duduk di tengah Dapunta Séreng (penghulu bissu) dikelilingi Puwang
Matowa (pimpinan bissu) berupacara kehiyangan.
119. Dapunta Séreng
menyuruh melengkapi perupacaraan itu. Tujuh buah piring, telur ayam,
beras, sirih, kemudian Dapunta Séreng berdoa mohon dengan bahasa bissu.
120. Nyanyian bissu dilantungkan berganti-ganti oleh para bissu. Kemudian Dapunta Séreng bergerak mendekati To Tenribali.
121.
Dia menyampaikan bahwa anakmu itu tidak menerima kalau hanya orang
biasa saja yang menghiasi ’’juruk’’. Hiasan yang diminta adalah aneka
macam dari Boting Langi yang dipasangkan sendiri oleh Opunna Warek.
Dipanggillh Pallawa Gauk untuk mempertimbangkannya.
122. Pallawa Gauk
dipanggil di gelanggang untuk naik mengatasi masalah juruk itu karena
yang diinginkan oleh Bissu Lolo itu, peralatan hiasan juruk harus
didatangkan dari Boting Langi.
123. Sudah naik juga Sawérigading
terus duduk di dekat perupacaraan dikelilingi dengan ribuan obor. Tiga
malam lamanya duduk para tamu undangan barulah Bissu Lolo itu naik di
juruk. Pallawa Gauk meminta pedupaan dan dupa harum pada isteri La
Mappanyompa.
124. Pallawa Gauk mengasapi keris warisan orang tuanya
lalu menyuruh naik ke Ruwang Letté menemui I Lajiriwu (suami I
Tenriabeng) menyampaikan masalah yang dihadapi cucunya di Senrijawa.
125.
We Bali tidak mau kalau yang menyertai juruk yang ditempatinya hanyalah
orang biasa. Yang diminta adalah pendamping juruknya dari Boting Langi.
126.
I Lajiriwu yang ada di Boting Langi menyuruh dahulu upacarai tempat
upacara perbissuan itu korban sebanyak dua kali tujuh ekor kerbau dan
binatang lain yang ada di langit. Kampung akan ditimpa celaka bagi yang
tidak mengupacarainya sebelum Wé Mannédara itu turun ke bumi.
127.
a.Yang diidamkan untuk hiasan juruk nitu ada di Takkalalla di luar
langit, yaitu ayam remaja bermata cermin. 127.b.Ayam yang bermata
cermin itu tidak mau dijadikan alat pelengkap upacara ’’juruk emas’’ di
bumi. Gajang Pacciro mengatakan mau atau tidak mau engkau harus tunduk
pada perintah dewa.
128. Kalau engkau tidak mau, lehermu akan
kupotung, lalu engkau kubawa turun ke bumi. Kebetulan Wé Tenriabéng
menjenguk dari jendela menyaksikan pembangkangan ayam itu. Marah sekali
Wé Abéng. Segera beterbangan ayam bermata cermin itu turun ke bumi.
129.
Sudah tiba Gajang Riciro dari langit menyampaikan pesan supaya
’’baringeng’’ peralatan upacara naik juruk itu dicerak dengan
binatang-binatang dari langit itu. Bergegaslah bissu-bissu memulai
upacaranya.
130. Upacara bissu berlanjut sepanjang malam. Keesokan
harinya sudah berseliweran para tamu undangan. Sudah datang pula
beberapa rombongan orang kayangan dari langit termasuk rombongan Daéng
Manottek (Wé Tenriabéng).
131. Membanjir datangnya tamu undangan.
Salah satunya bernama Senngeng Risompa Daéng Mangkauk, perempuan cantik
yang tidak mau bersuami kalau bukan yang disukai. Banyak sekali yang
melamarnya belum ada yang diterima.
132. Duduk berdesakan semua para
tamu undangan. To Sibenngareng (saudara perempuan La Mappanyompa/ibu We
Tenribali) meminta maaf kepada Sawérigading, mohon kiranya beliau
memulai pelaksanaan upacara itu, atas permintaan anaknya yang tuppu
juruk itu.
133. Gembira sekali La Mappanyompa. Bissu-bissupun sudah
mulai menari. Sudah ramai kedengaran bunyi peralatan bissu. Melangit
kedengaran suara gendang emas, alat kuur semangat kehiyangan Bissu Lolo
(We Tenribali) itu
134. Ratusan Puwang Matowa berupacara dewa. Pada
waktu tengah hari, guntur kilat berbunyi, pelangi juga turun dari langit
yang dilalui ayunan emas manurung, diantar oleh mannedara.
135.
Dijemputlah dengan alat kuur semangat. Sawérigading membaca-bacainya
disertai sepah sirih, sedang Puwang Matowa mengayunkan peralatannya
dengan ucapan doa permohonannya.
136. Sawérigading naik di atas
juruk emas, kelompok bissu mengayun menarikan peralatannya, I La Sarasa
anak Pallawa Gauk dari Tompo Tikka menebarkan bertih emas mengayunkan
belira keemasan sambil mengucap mantera.
137. Bersamaan semua para
aparat kerajaan berganti-ganti naik pada juruk emas sedang Sawerigading
naik di puncaknya dikelilingi obor api menyala, bagaikan dewa yang baru
turun dari kayangan. Senngeng Risompa si cantik yang tidak mau kawin,
khusyuk berdoa memohon kepada dewa di langit supaya Sawérigading mau
memperisterikannya.
138. Dia mengambil selembar sirih, lalu
menuliskan cinta berahinya, kemudian mengirim kepada Sawérigading, agar
dia rela memperisterikannya. Tunduk tertegun dan tertawa Sawerigading
membaca daun sirih itu. Hari ini seharian penuh Sawérigading menerima
surat yang sama dari perempuan lain.
139. Sawérigading menjawabnya
dengan ucapan yang tak dapat didengar orang lain, ’’Engkau cinta
kepadaku, saya lebih cinta mendalam di hatiku kepadamu. Hanya sayang
sekali, dewa sudah menutup perjodohanku. Andai kata engkau dan aku
bertemu sejak dahulu, pada waktu itu aku masih selalu dilanda asmara.’’
140.
Memang di dalam hatiku menggelora walaupun hanya melihat bayanganmu. Di
samping itu rupanya hatimu tergoda sekali padaku secara mendalam
melalui sudut pandangan pengelihatan urat-urat matamu. Rupany engkau
menyimpan keinginan yang dapat menjadi penyakit tak terobati atas
terkabulnya lagi keinginan rasa hatiku. Hanya aku sampaikan bahwa sudah
lampau masa keinginanku pada perempuan.
141. Termenung Senngeng
Risompa atas kecendekiaan bunyi surat Sawérigading. Matanya masih
melotot melihat ketampanan Sawérigading yang ingin sekali menjadi
jodohnya. Sawérigading sudah turun dari juruk emas. Makananpun sudah
dipersiapkan. Para penyabung mulai makan kemudian turun kegelanggang.
142.
Sedang To Padamani (La Galigo) tak berhenti didatangi surat
cinta-sembunyi. Sudah banyak bilik perempuan silih berganti dimasuki
secara sembunyi. Tiga malam terus menerus pelaksanaan upacara itu lalu
ditutup dengan ucapan doa bissu.
143. Tiga kali saja bissu
melantungkan doa, bangunlah keturunan manurung itu dari tempatnya
disertai ucapan oleh inang pengasuh Wé Tenribali dengan janji ratusan
pelayan pembantu. Sudah sibuk para pengasuhnya mengenakan kepadanya
pakaian orang Senrijawa dari Boting Langi.
144. Bagaikan saja anak
dewa turun dari langit kecantikan cucu Wé Tenrirawé itu. Berpakaian
indah semua penghuni istana, anak raja sebayanya, para pelayan
pembantunya, inang pengasuh dan orang dalamnya. Bunyi-bunyian dan
peralatan bissu mulai memekakkan telinga.
145. La Tenriliweng
mengusulkan agar Bissu Lolo tidak usah lagi naik di juruk emas, karena
tidak wajar orang cantik ditonton oleh orang banyak. Uaul ini ditolak
oleh Wé Tenribali karena hal itu dipantangkan oleh kepala-kepala bissu
tak dinaikkan di atas juruk setelah berpakaian, walaupun hanya sekejap
saja.
146. Ratusan Puwang Matowa mengiringinya dengan nyanyian bissu,
ribuan sebayanya penghuni istana mengiringi dan mendampinginya.
Bagaikan saja bulan purnama kecantikannya berjalan diangkatkan ujung
sarungnya.
147. Ada yang mengangkatkan tempat sirih, ketur
peludahannya. Tiba-tiba tak dapat mengangkat kakinya. Menyanyi-dewalah
Tunek Mangkauk, kemudian menyapu badan anaknya sambil menjanjikan
hadiah sebuah kampung besar, agar turut naik di Saoturu keemasan tanpa
dilihat oleh para tamu undangan.
148. Tiga kali La Mappanyompa
mengucapkan janji hadiah, diangkatlah Tunek Mangkauk oleh Puwang Matowa
untuk dinaikkan pada juruk emas, disertai aduan alosu soda tanpa dilihat
oleh orang banyak.
149. Tiada berhentinya doa ucapan penghulu bissu
Dapunta Séreng. Tepat tengah hari, tak ada angin berembus, tiba-tiba
datang topan, awan tebal yang beriringan kilat disertai guntur, datang
gelap gulita, turunlah Towa Patalo dari langit.
150. Berdirilah We
Sellung Mégga mengangkat Bissu Rilangi lalu membawa masuk ke biliknya,
diiringi oleh anak raja sebaya dan bunyi gendang gongnya, disertai
taburan bertih dan harta yang banyak yang menenangkan kolong langit
permukaan bumi.
151. Tujuh hari tujuh malam pukulan gendang, sekian
pula lamanya naik-turun tamu undangan. Menari semalam suntuk para
penyabung dan perempuan. Wé Tenribali kawin-dewa, silih berganti tamu
undangan memberi hadiah, emas dan pelayan pembantu.
152. To Padamani
meminta kepada Wé Tenribali, agar anaknya yang cantik itu dapat keluar
menampakkan diri untuk disaksikan oleh orang banyak, akan diberikan juga
hadiah. Sawérigading mengatakan mengapa lagi orang yang akan bersanding
dengan La Tenriliweng itu dipanggil. Dijawab oleh We Tenribali bahwa
walaupun tanpa hadiah akan dikeluarkan juga.
153. Hanya tadi tidak
keluar karena masih ada orang Ruwang Letté yang merasukinya tetapi
karena sudah selesai ’’tuppu juruk’’ orang langit itu sudah tak mengikat
lagi. Unga Wé Majang disuruh menjemput di dalam bilik.
154. Para
penghuni bilik sudah berpakaian indah kemudian si tunas mangkauk itu
diberi pakaian dan perhiasan ala orang langit. Berangkat keluarlah
diiringi oleh dayang-dayang, pelayan dan pengasuhnya.
155. Sudah
sampai Wé Tenribali di luar dikelilingi mata memandang. Bagaikan bulan
purnama kecantikannya. Dipersilahkan duduk oleh Opunna Warek. To
Padamani menyuruh pelayan pembantu memberikan sirih pinang.
156. To
Padamani mempersilahkan We Tenribali menyirih, sambil memberikan hadiah
berupa pelayan pembantu untuk dijadikan penghuni dan pendamping di
istana. Pamadeng Letté (Sawérigading) memperhatikannya, bagaikan bentuk
badan dan warna kulit I Wé Cudai waktu mula sampainya di Latanete.
157.
Opunna Cina memuji kecantikan Wé Bali. Entah siapa nanti menjadi
jodohnya. Banyak orang cantik di Cina tetapi lain juga keadaan
kecantikan Wé Bali. Karena Wé Bali menjatuhkan dirinya pada inang
pengasuhnya, maka Sawérigading menyuruh kembalikan ke biliknya.
158.
Kembalilah Wé Bali diiringi pelayan pembantu dan inang pengasuhnya ke
dalam biliknya. Sesudah itu diangkatlah makanan. Berseliweran pelayan
pembantu mengatur piring mangkuk untuk makanan orang banyak.
159.
Belum berkurang nasi di piringnya, ditambah terus. Selesai makan bunyi
gendang berbunyi terus bagaikan mau runtuh Senrijawa karena acara
keramaian semalam suntuk. Sawérigading kembali ke istana, dibereskan
tempat tidurnya, sekelambu berdua dengan To Palennareng.
160. To
Palennareng mengatakan bahwa ada surat emas datang semalam diantar oleh
angin. Rupanya ada tambatan hatimu di tempat ini. Kubaca surat itu,
berderai air mataku karena mengenang waktu kita masih remaja di Luwu,
berjaga-jaga di luar kelambumu.
161. ’’Diamlah, memang Senngeng
Risompa ingin sekali kuperisterikan. Menggelegar cinta di dalam hatiku
juga tetapi bagiku perjodohan itu sudah ditutup mati oleh To Palanroé
(dewa). Bagiku cinta itu hanya bagaikan bunga layu yang jatuh sudah
bersatu dengan tanah.
162. Kuur jiwa datu itu. Mungkin akan terbuka
perjodohannya juga. Mungkin ada Sawérigading lain akan berjodohan
dengannya. Sudah dua tiga kali datang suratnya kepadaku melalui angin.
Kutanggalkan pontoh emasku dan cincin buatan kehiyanganku dari jari
manisku, kuberikan angin untuk diantarkan kepadanya sebagai penutup malu
dan rasa kecewanya.
163. Supaya mereka tidak merasa kecewa karena
telah kutolak permintaannya,’’ Ujar Sawérigading sambil tersenyum. To
Palennareng menanyakan tentang kecantikan itu. Dijawab oleh Sawérigading
bahwa ada tiga ratus datu mangkauk hanya dialah yang paling cantik.
164.
Kecantikannya tak melepaskan matanya beralih pandang dari padanya, tak
memuluskan makanan langgar di kerongkongannya, sayangnya I Wé Cudai
sudah merebut perjodohannya. To Palennareng mempertanyakan lagi apakah
dia tidak bisa meminjamkan lengan tempat berbantalnya I Wé Cudai
Datunna Cina, betis tampat belitan betisnya supaya dia bisa berjodohan
dengan Senngeng Risompa itu.
165. Sawérigading pun tertawa sambil
menasehati To Palennareng agar Jangan besar suaranya nanti didengar
angin lalu menyampaikannya pada I Wé Cudai di istana Latanété.
166. Akan marah nanti Punna Bolaé Ri Latanété. Rembang tengah hari La Galigo dan rombongannya naik di istana untuk menyirih.
167.
La Galigo menjumpai surat emas pada tempat sirih orang tuanya. Dia
menyampaikan kepada pendampingnya bahwa tiada akhir-akhirnya gelora
cinta itu. Paduka Tuan kita pun yang sudah tua, bukan lagi remaja
sebagai raja muda, masih menggelora asmaranya dan dapat melanda gelora
asmara cinta perempuan yang melihatnya.
168. Angin yang diutus oleh
Senngeng Risompa sudah sampai di Boting Langi, menyampaikan kepada Bissu
Rilangi (We Tenriabéng) bahwa dia telah disuruh oleh Senngeng Risompa
mengantar surat cinta kepada Sawérigading.
169. Karena Sawérigading
tidak mau, maka putuslah harapan gelora cintanya. Dijawab oleh Bissu
Rilangi bahwa mungkin besok-besok kalau saja selalu bettemu,
Sawérigading akan terlena juga. Wé Tenriabéng menyuruh angin itu ke Cina
membohongi Datunna Cina bahwa Sawérigading sudah kawin di Senrijawa.
170.
Anginpun melanglang buana menembus angkasa berangkat ke Cina
menyampaikan berita kepada I We Cudai bahwa mungkin ada mimpinya
semalam. Itu berarti berita penyampaian tentang perkawinan Sawérigading
di Senrijawa.
171. I Wé Cuai tertawa saja sambil mengatakan bahwa
yang demikian itu tidak usah diherankan. Memang Sawérigading adalah
laki-laki yang selalu didambakan oleh wanita di mana saja dia berada.
Bagaikan mau keluar-lepas biji mata wanita yagn melototnya. Setiap malam
semangatnya datang di pembaringannya menyatakan rasa dirinya makan
tidak kenyang, minum tak lepas dahaga tanpa bersamanya di negeri orang.
172.
Sudah masuk bulan kedua dalam pelayarannya ke Senrijawa, tak pernah
alpa semangatnya bersesarung dengan dia, bahkan ceritera pelayarannya
dapat didengar pendamping di luar bilik. Diceritrakan juga semua surat
cinta Senngeng Risompa yang ditolaknya.
173. Hanya muncul dalam hati
datunna Cina apakah memang ada yang tidak diceriterakan padanya.
Tertawa saja dalam hati angin utusan itu mendengar ucapan I Wé Cudai.
174.
Kembalilah angin itu ke Boting Langi menyampaikan pertemuan dan
pembicaraannya dengan I Wé Cudai kepada Wé Tenriabéng. Sudah penuh sesak
orang di Léténriwu dan Senrijawa. Bagaikan mau runtuh langit karena
gemuruh suara manusia.
175. Sudah lengkap sempurna hiasan pelaminan.
Persis tengah hari, turun gelap gulita diikuti petir kilat, istana
bergoyang keras dan pelaminan runtuh merata. Suasan tenang kembali
setelah keadaan perupacaraan porak poranda. Diantarlah kain jemputan
Puwang Matowa supaya datang ke istana membangun kembali pelaminan itu
disertai upacara bissu.
176. Upacara bissupun diadakan sambil
membangun kembali pelaminan itu tetapi seharian penuh dikerjakan,
pelaminan itu belum berhasil diperbaiki. Dapunta Séreng penghulu bissu
dipanggil mengatasi masalah itu, tetapi dia tidak mau datang.
177.
Hanya menitip pesan bahwa ada anak dewa dari Ruwang Letté mengamuk
merusak pelaminan itu karena dia sendiri yang mau memperisterikan Wé
Bali tetapi didahului oleh La Iweng dari Léténriwu. Disarankan oleh
Dapunta Séreng, pelaminan yang harus dibangun adalah pelaminan yang
pernah dipakai oleh La Mappanyompa waktu kawin dengan We
Tenrisumpalak, dipotongkan kerbau bertanduk mas sebagai tumbalnya.
178.
Yang mengamuk itu adalah dewa pamilinya juga yang ingin kawin dengan
orang Senrijawa tetapi La Iweng yang diterima lamarannya. Saran Dapunta
Séreng dilaksanakan diiringi dengan upacara bissu.
179.
Berganti-ganti aparat kerajaan menaburkan bertih emas mohon maaf kepada
dewa orang Ruwang Letté yang marah itu, Sawérigading duduk mengapit
pelaminan bersama dengan Senngeng Risompa yang jarinya gemerlap
menyinari sekitar pelaminan itu. Terkenanglah Sawérigading sewaktu mau
mengawini Wé Camming Mpuleng yang gagal karena dia berangkat ke Cina.
180.
Tak lepas sudut mata Sawérigading mencuri pandang kepada Senngeng
Risompa. Dalam hatinya mengatakan tidak ada bedanya dengan I Wé Cudai.
Timbul di dalam hatinya untuk kawin sembunyi secara rhasia.
181.
Diambilnya selembar sirih lalu meniupnya, maka jadilah daun sirih itu
berbicara bak manusia. Disuruh pergi kepada Senngeng Risompa tanpa dapat
dilihat dan didengar oleh orang luar, mengatakan bahwa Sawérigading
mengutusnya dengan ucapan dia mau jatuh pingsan melihatnya. Dia ingin
dikasihani agar dapat diterima bayangannya masuk ke dalam bilik Senngeng
Risompa, berbaur semangatnya kelak kalau berada dalam kelambu itu.
182.
Kiranya Senngeng Risompa dapat menumpangkan di tempat tidurnya,
meminjam tempat berbaring di bawah bulan puranama yang menaunginya,
dijadikan tamu mulia dalam bilik, saling mengangkat di dalam sarung,
satu semangat dan jiwa berdua. Dijawab oleh Senngeng Risompa bahwa bukan
begitu yang dia harapkan. Dia berkeinginan dilamar dengan baik secara
terhormat di kerajaannya. Mohon maaf sebesar-besarnya kalau hal itu
tidak diiakan.
183. Daun sirih kembali kepada Sawérigading
menyampaikan apa jawaban Senngeng Risompa itu kepadanya. Tertawa saja
Sawérigading mendengarnya. Berdiri Sawérigading sambil meninggalkan
bayangannya, sedang badannya berjalan tanpa dilihat orang lain pergi
duduk di hadapan Daéng Risompa.
184. Sawérigading memijit jari
Senngeng Risompa waktu disuguhi sirih, sampai kelihatan pucat marah
wajahnya. Sawérigading sudah mengetahui ketidak mauan Senngeng Risompa,
karena semua wanita yang dipijit jarinya biasanya tertawa, kecuali dia.
185.
Sawérigading minta dikasihani utamanya semngat kehiyangannya. Dia
menginginkan naungan kelambu. Matanya sudah tergiur atas keelokan paras
Senngeng Risompa. Dijawab saja olehnya kiranya jangan terkejut hati
orang besar, tak diperbuat yang demikian, tak tertanam di dalam hati
berkasih-kasihan secara sembunyi.
186. Yang diinginkan olehnya adalah
saling berjodohan disaksikan oleh semua orang banyak. Dia juga
menyampaikan bahwa dia tidak menyembunyikan keinginannya untuk
berjodohan karena kegagahan Sawérigfading yang diidamkn, ketampanannya
melenakan matanya, dia ingin membanggakan dirinya kalau dapat berjodohan
dengan opu penyabung yang bagaikan sinar matahari cerah kulitnya. Oleh
karena Sawérigading tadinya tidak mau membagi cintanya dengan I Wé Cudai
maka diapun menyabarkan hatinya.
187. Sawé Risompa menyuruh
Sawérigading menenangkan hatinya. Tertawa saja Sawérigading sambil
mengambil sirihnya, dia melihat juga Senngeng Risompa bagaikan nampak
jelas sirih langgar di kerongkongannya kalau sedang makan dirih. Duduk
saja Sawérigaing terus membujuk Senngeng Risompa tetapi dia tidak mau
dibujuk.
188. Sudah bertebaran anak datu tujuh-puluh menuju ke
gelanngang. Sawérigading berpesan kepada To Palennareng, kalau besok
dia tidak kembali ke istana, jagalah La Galigo, karena dia mau pergi
membujuk Senngeng Risompa di tempatnya.
189. Sawérigading berangkat
tanpa pengiring kecuali pembawa ketur peludahannya, berjalan sebagai
orang biasa saja. Semua orang yang berpapasan dengan dia mencium bau
harum penyapu badannya, sampai ada yang mengatakan entah siapa opu
penyabung ingin mengeram di dalam kelambu.
190. Bau penyapu badan
Sawérigading semerbak tercium di itana setelah memasuki pekarangan,
menyebabkan penghuni istana keheranan karena orang besar itu datang pada
waktu dinihari tanpa pengawal pengiring. Bahkan ada yang mengatakan,
mungkin adapenghuni bilik berjodohan sembunyi.
191. Pada waktu
Sawérigading masuk ke dalam istana, dia berpapasan pendamping Senngeng
Risompa yang mengantar Sawérigading sampai di bilik tuannya. Dilarangnya
pendamping itu memasang pelita.
192. Dia terus membuka kelambu lalu
masuk menekan pinggang Senngeng Risompa. Terkejut dan bangun Senngeng
Risompa dan menyaksikan Sawérigading. Nampak jelas bercahaya walaupun
dalam keadaan gelap gulita. Sawérigading lalu membujuknya dengan ucapan
yang lemah lembut tetapi Senngeng Risompa hanya mau kalau bersanding
disaksikan oleh orang banyak.
193. Sawérigading menyampaikan bahwa
setelah keinginannya itu dikabulkan, sekembali beliau ke Cina akan minta
izin pada I Wé Cudai untuk melamarnya. Dijawab saja oleh Senngeng
Risompa bahwa asal dia bersanding sekarang walaupun hanya tiga malam
saja dia mau pergi lagi meninggalkannya, tidak akan merasa keberatan.
Habis anaeka macam janji hadiah yang diucapkan Sawérigading, tetapi dia
tidak mau tunduk.
194. Sawérigading menyampaikan bahwa I Wé Cudai
tidak mau membagi hasil perjudiannya. Dia meminta lagi supaya Senngeng
Risompa meredam saja ketak mauan hatinya, akan diberikan pontoh orang
Boting Langi, gelang orang Ruang Letté sambil menyampaikan juga bahwa
hatinya seakan-akan sudah kembali ke Alé Luwu kalau permintaannya itu
dikabulkan.
195. Tiada bosan dan berhenti La Maddukelleng
(Sawérigading) membujuk merayu terus menerus. Pendamping Senngeng
Risompa juga memohon kepada tuannya itu, supaya tunduk mengia saja. Pada
waktu fajar menyingsing barulah Senngeng Risompa berhasil dijala
sarung, selembar sarun g berdua, saling menggesek meliukkan pinggang,
memperbantalkan Senngeng Risompa pada lengan mulusnya. Dalam hati
Senngeng Risompa mengatakan rupanya bagaikan mayang dan gulungan kapas
disentuh kulit orang besar ini.
196. Terlenalah Sawérigading
dikarenakan kenikmatan kesejukan digelut betis mulus, lengan gemulai,
tumpangan gelang berukir. Memang perempuan akan mati merana kesepian
yang ditinggalkan pergi oleh Sawérigding. Hanya sayangnya perbuatan
sembunyi ini tak direstui oleh orang banyak.
197. Keesokan harinya
anak datu tujuh-puluh kelompok La Galigo ramai dan ribut di istana
belajar tari lenggang Maloku, ayun tangan orang Sama.
198. Pergi
jalan-jalan keliling kampung saling berpasangan, lenggang orang Maloku
jalan orang Sama, tiga kali melangkah satu ayunan tangan. Ribut
berteriak penghuni kampung menyaksikannya.
199. Berganti-ganti orang
kampung memohon supaya singgah di rimahnya. Alasannya adalah kembalinya
sangat ditunggu digelanggang sabungan. Kelompoknya mengharapkan supaya
ada hasil judian yang dapat dipergunakan untuk hadiah penghuni bilik.
200.
Memperingatkan pada kita waktu kita mulai meninggalkan Luwu berpisah
tujuan keberangkatan dengan saudaraku Wé Tenriabéng. Menyembah sambil
berkata To Sulolipu mengatakan bahwa tidak baik kalau Sawérigading tidak
berlayar ke Senrijawa menghadiri undangan dari Wadeng, lebih-lebih lagi
kalau engkau ingat waktu engkau dijemput oleh Wé Tenrirawé tetapi
engkau tak mau. (halaman 200 ini mungkin salah satu halaman lepas di
bagian awal)
201. Kuperkirakan lebih kecewa orang Wadeng kalau kita
tidak menghadiri upacaranya. Langi Paéwang (Sawérigading)
membenarkannya, sambil menugaskan beberapa orang sepupu sekalinya
menjaga kampung kalau berangkat ke Senrijawa.
202. Kalau ada keluarga
kecewa karena tidak diikutkan, mudah-mudahan ada sesuatu upacara juga
diadakan di kampung ini dapat menghibur hatinya. (halaman 200,201 dan
202 mungkin halaman tercecer dari awal-awal ceritera)
203. Lima hari
lima malam makan hanya satu piring mereka berdua, saling menukar bangkai
sirih, baru Sawérigading mau kembali ketempatnya lagi. Dipangku dulu
Senngeng Risompa sambil menyapu-nyapu pinggangnya, memijit-mijit jari
tangannya, lalu mengucapkan selamat tinggal semoga saja Senngeng Risompa
tetap menyimpannya di dalam hati, mengenang di dalam kalbu mengharapkan
lagi untuk bertemu kembali.
204. Senngeng Risompa mengucapkan
selamat jalan sambil menyatakan bahwa tak sempurna kebahagiaannya,
karena Sawérigading tidak mau secara resmi memperisterikannya disebabkan
Datunna Cina tidak mau dimadu dan dibagi dua hasil judiannya. Senngeng
Risompa juga menyampaikan bahwa kalau Sawérigading tidak mau bercerai
dengan isterinya, dimana lagi dapat mendapatkan laki-laki gagah, tampan
dan ganteng seperti dia di kolong langit permukaan bumi yang dapat
menggantinya.
205. Sawérigading menyatakan bahwa sukar bercerai
dengan isterinya. Hanya biasanya sepatah kata-indah saja dapat berobah
menjadi rasa marah yang menyebabkan puluhan malam tidak mau menerima
bujukan rayunya. Ucapan perceraian biasa muncul di mulutnya. Hanya
karena memang padanyalah tempat mukim semangatnya. Mudah-mudahan dia mau
tunduk dimadu.
206. Setelah bertukar sirih. mereka berdua
bergandengan tangan diiringi pendamping sampai di tangga. Sawérigading
menyuruh kembali ke biliknya, dijawab olehnya akan kembali ke bilik
kalau dia sudah hilang dari pandangan.
207. Berkesan sekali nikmat
yang ditinggalkan oleh Sawérigading padanya pada waktu sesarung. Merayap
tak bersayap bagai ikan yu, meresap bagai taji sabungan yang
mengakibatkan tak merasa enak lagi makanan langgar di kerongkongan.
208.
Gembira sekali Senngeng Mallino menyaksikan upacara yang diadakannya,
diramaikan tujuh macam tarian bissu. Banyak sekali raja muda yang
terkesan, sampai mengingat tunangnnya yang perkawinannya belum/batal
terlaksana, utamanya La Tenriliweng yang pernah melamar untuk kawin
dengan Daéng Macora tetapi ditolak, lalu pergi kawin di Senrijawa.
209.
Daéng Macora yang dikhianati oleh La Tenriliweng dan sekarang sudah
siap bersanding di Senrijawa, menjenguk melalui mjendela memanggil
angin-bertiup, lalu minta tolong supaya aneka harta pertunangannya denga
La Tenriliweng dikembalikan kepadanya, disertai ucapan pesan
210.
Kiranya diberikan harta benda penghianatannya dengan ucapan supaya
dipakai saja olehnya sebagai harta pemendek umur hidup bergaya di dunia.
Anginpun berangkat melanglang buana menuju ke Senrijawa.
211.
Sedang ramai-ramainya tamu undangan mengadakan keramaian disertai
bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, angin utusan itupun sudah tiba
mengembus-embus destar La Tenriliweng menyampaikan harta bendanya serta
pesan dari Daéng Macora agar harta penghianatan pertunangan itu dipakai
saja sebagai harta pemendek umur.
212. Dijawab saja oleh La
Tenriliweng bahwa tidak pernah bersumpah untuk kawin dengan Daéng
Macora. Hanya waktu dia melamar Daéng Macora di Méné Empong, orang
tuanya mengatakan dia sudah dipertunangkan dengan Wéwang Makketti dari
Jawa Barat. Maka itu Daéng Macora kuberi harta benda supaya kalau bisa
dia lari saja untuk pergi kawin di negeri lain, tetapi karena tidak ada
jawaban, aku melamar di Senrijawa.
213. Dia juga menyampaikan kepada
angin bahwa dewa merahmatinya, lamarannya di Senrijawa diterima untuk
memperisterikan gadis yang disurupi orang langit menjadi bissu muda.
Mati muda juga menjadi kebanggaan baginya asal sudah bersanding dalam
upacara besar. Angin berangkat kembali.
214. Angin-berembus
menyampaikan berita kepada Daéng Macora. Upacra perkawinan agungpun
sudah dimulai diadakan di Senrijawa. Tertanam berjejer lima ratus
umbul-umbul bambu keemasan yang berbuahkan buli-buli keemasan dan kempu
kecil, bertangkaikan kalung berdaunkan kain dari Boting Langi.
215.
Penuh sesak orang di gelanggang. Beriring-iringan usungan raja
menghadiri pesta perkawinan. Lebih seribu ekor kerbau dipanggang.
Bagaikan mau runtuh langit terbelah bumi karena padatnya tamu undangan.
La Galigo meminta supaya sabungan diistirahatkan, supaya pergi menonton
dulu.
216. Tujuh ribu orang pengiring pengantin. Bagaikan buah buni
langkas pelayan pengiring. Salah seorang pereempuan cantik di dalam
usungan yang bernama Wé Tenriwéwangeng Daéng Patallé sepupu sekali Wé
Tenribali, sangat mempesona kecantikannya. Untuk dapat melihatnya
dengan sempurna mereka bermantera mengembuskan angin berpusar yang dapat
menggulung tirai usungannya.
Makassar, 30 Nopember 2008
Terjemahan ringkas,
Drs.Muhammad Salim
RINGKASAN
ISI SUREK GALIGO SAWERIGADING
DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA
Oleh :
DRS.MUHAMMAD SALIM
http://lontarakpappasang.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar