Bayi Sukarno lahir menjelang matahari merekah. Karenanya, dia disebut
pula sebagai Putra Sang Fajar. Orang Jawa memiliki kepercayaan,
seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah
ditakdirkan terlebih dulu. Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun
1901 (tanggal 6 Juni) terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19,
sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian
besar belahan bumi lainnya oleh aksi imperialisme yang merajalela.
Kelahiran
putra sang fajar, diyakini —setidaknya oleh Idayu, sang ibunda— bakal
menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gunung Kelud yang terjadi kala
Sukarno lahir, makin menguatkan pratanda alam menyambut kehadirannya di
atas jagat raya. Benar, gunung berapi yang puncaknya di atas ketinggian
1.731 di atas permukaan air laut itu, tiba-tiba saja bergolak setelah
sekian lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik yang berarti.
Begitulah alam memberi tanda bagi lahirnya sang jabang bayi putra
pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo dan Idayu ini. Siapa nyana, bayi
merah yang dilahirkan bukan oleh dukun beranak, melainkan oleh seorang
kakek yang masih kerabat ayahandanya itu, kelak akan berjuluk Pemimpin
Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, Paduka Yang Mulia Presiden Republik
Indonesia yang pertama.
Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu
gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda, dan 3,5
tahun dinista Jepang dengan bengisnya. Bung Karno sendiri menyimpan
sebuah “restu” Ibunda, saat usia balita.
Dikisahkan, suatu subuh, menjelang matahari menyingsing, ibunda
Sukarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke
arah Timur. Udara pagi masih menggigit, embun pagi menyelimuti dedaunan.
Sukarno yang terbangun, menyaksikan ibundanya duduk terpekur, diam tak
bergerak menyongsong matahari pagi. Demi melihat ibuda di beranda
seorang diri, Sukarno kecil mengayun langkah menghampirinya.
Sang
Idayu, demi melihat anaknya mendekat, diulurkannya kedua tangan dan
direngkuhnya Sukarno kecil ke dalam pelukannya. Nah, di saat itulah
ibunda Idayu melepas kata dengan nada lembut, “Engkau sedang memandangi
fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang
mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu
melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang
Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat
matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan
lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra
dari sang fajar.”
Tutur lembut sang ibu, dimaknai Bung Karno sebagai sebuah restu yang
mengalir bersama darah Sukarno sepanjang hayat dikandung badan.
Bagaimana dengan makna angka yang serba enam yang mengiringi
kelahirannya? Ya, Sukarno dalam satu kesempatan menuturkan ihwal
kelahirannya pada tanggal enam bulan enam, berbintang gemini. Lambang
kembar yang mengalirkan dua watak berlainan. Demikianlah Sukarno. Ia
bisa lunak, dan bisa sangat cerewet. Bisa keras laksana baja, bisa
lembut berirama. Ia meringkus musuh negara dan menjebloskannya ke balik
jerajak besi, tetapi tak tega melihat seekor burung terkurung dalam
sangkar. Ia memerintahkan prajurit membunuh musuh, tetapi tak tega
menepuk nyamuk yang menggigit lengannya.
Dialah Sukarno, lahir dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta
Brahmana, Idayu, keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir,
adalah paman ibundanya. Sedangkan ayah yang mengukir jiwa raganya,
berasal dari Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dia berasal dari
keturunan Sultan Kediri.
Sekelumit kisah ini, kupersembahkan pada hari ini, 6 Juni 2009, sebagai wujud hormat saya kepadanya. Sebelum mem-publish, saya pejamkan mata, mengirim Al-Fatihah buat Sukarno bin Sukemi Sosrodihardjo. Sekali lagi, ini semata wujud hormat dan cinta saya kepada Bung Karno.
“Maaf Bung… di hari kelahiranmu ini, sejumput doa hanya sempat kulantunkan dari beranda rumah. Insya Allah, libur Lebaran nanti, aku akan berdoa di pusaramu…”. (roso daras)
http://rosodaras.wordpress.com/2009/06/06/kelahiran-bung-karno-disambut-letusan-gunung-kelud/