Alkisah, ketika ibundanya We Cella Arung Alitta 1 mangkat,
maka La Massora kembali ke Alitta. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke
kerajaan gowa dan akan menetap di Alitta. La Massora menghabiskan masa kecil
hinggah dewasa di kerajaan Gowa. Sebab saat La Massora kecil datanglah Raja
Gowa Tunipallangga Ulaweng ke Alitta, Suppa dan Sawitto dengan maksud
ingin
menguasainya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1566 M. saat Karaeng
Tunippalangga Ulaweng kembali ke kerajaan Gowa, dia membawa serta La Massora.
Dia membesarkan La Massora bersama anak bangsawan Gowa lainnya. Bahkan saat
raja Gowa memeluk agama islampada tahun 1024 M , La Massora ikut mengucapkan
dua kalimat syahadat,di sekitar tahun 1603 M, ibunda La Massora wafat,
sehinggah La Massora memutuskan untuk kembali dan menetap di Alitta.Seprti
umunya bangsawan Bugis-Makassar, maka La Massora mempunyai hobbi berburu,
bahkan sejak menetap di Alitta, La Massora makin sering masuk ke hutan untuk
berburu, setiap La Massora berburu dia di temani anjing hitam kesayangannya. Ia
juga sering d temani seorang kakek tua yang hobbinya berburu ayam hutan.Namun
pada suatu hari kakek tua itu pergi berburu ayam hutan sendiri, saat kakek tua
itu sedang menunggu jebakan jerat menjerat ayam hutan, sayup-sayup ia mendengar
suara gadis yang sedang tertawa dan kadang d selingi gonggongan anjing yang
sepertinya sering ia dengar, sang kakek tua pun segera mencari asal suara itu.
Alangkah terkejutnya saat melihat tujuh orang Bidadari mandi dan bersenda
gurau, bidadari itu mandi pada sumur yang berbeda, masing-masing dengan satu
sumur satu orang dan ternyata suara anjing itu berasal dari seekor anjing
berwarna hitam yang sangat di kenalnya. Anjing itu milik Raja Alitta yang
selalu menghilang setiap malam jumat dan baru kembali pada hari jumat
sore.Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, maka sang kakek tua segerah ke
istana kerajaan Alitta menghadap raja, kakek tua lalu menyampaikan dengan apa
yang dilihatnya di hutan serta keberajaan anjing baginda, mendengar kabar itu,
La Massora raja Alitta pun jadi penasaran, apakah karena menghilangnnya anjing
kesayangannya setiap malam jumat hinggah jumat sore baru kembali ada
hubungannya dengan para bidadari tersebut, apalagi setiap anjingnya pulang ia
mencium bau yang sangat harum, La Massora pun memutuskan menyelidiki kejadian
tersebut.Pada malam jumat berikutnya, La Massora tidak lagi melepaskan
anjingnya. Keesokankan harinya pada hari jumat dengan disampinging sang kakek
tua dan pengawal kepercayaanya serta anjing kesayangannya masuk kehutan untuk
membuktikan cerita sang kakek tentang anak bidadari dan anjingnya. Mereka segera
menuju ketempat sang kakek tua menemukan bidadari tersebut. Sesampainya di
sana, mereka segera mencari tempat persembunyian yang aman. Pada saat tengah
hari tiba-tiba kabutpun turun menyelimuti tempat itu. Tidak lama kemudian turun
bianglala dan muncullah tujuh orang bidadari yang cantik jelita. Setiap
bidadari segera menuju satu sumur dan segera mandi. Para bidadari itu bermain
dan bercanda sambil mandi. Tercium bau yang harum semerbak disekitar tempat
tersebut.Melihat kedatangan bidadari,. Maka anjing La Massora mulai gelisah.
Baginda melepaskan anjingnya untuk melihat apa yang akan dilakukannya ternyata
anjing serta merta berlari menuju ke anak bidadari mandi. Ketujuh anak bidadari
itu nampaknya sudah tidak asing dengan anjing sang raja, sehinggah
kedatangannya disambut gembira. Bahkan ikut bermain bersama ke tujuh bidadari
yang cantik jelita dan sesekali menggonggong dalam hati La Massora berkata
pantas setiap kali anjingku pulang setelah menghilang pada malam jumat, baunya
sangat harum, ternyata berasal dari bau para bidadari.La Massora memnperhatikan
tingkah laku anjingnya bersama sang bidadari tanpa berkedip. Tiba-tiba
berkatalah bidadari yang sulung kepada adik-adiknya” mandilah kalian cepat,
saya mencium bau manusia di tempat ini “. Maka merekapun bergegas mengenakkan
pakaian masing-masing. Sedangkan si bungsu karena begitu asyiknya mandi dan
bermain. Kesempatan itu oleh La Massora untuk mengambil pakaian bidadari yang
bungsu. Sementara itu bianglala sudah muncul dari keenam bidadari lainnya
segerah menuju kesana untuk kembali kekahyangan.Setelah puas mandi, maka bidadari
bungsu pun segerah mencari pakaianya. Alangkah kagetnya sang bidadari karena
ternyata pakaiannya sudah tidak ada dia pun jadi Panik setelah menyadari
kakak-kakaknya sudah tidak ada , sang bidadari bungsu melihat keenam kakaknya
sudah sudah berada di bianglala untuk kembali kekayangan. Maka bidadari bungsu
menangis dan berteriak sekeras-kerasnya memanggil kakak-kakaknya. Namun keenam
kakaknya tidak bisa membantunya karena bianglala itu sudah bergerak kembali
kekayangan. Sementara itu La Massora pun secepat kilat melompat menangkap sang
bidadari yang terus meronta-ronta ingin melepaskan diri. Akhirnya bidadari itu
hanya pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena biang lala dan kakaknya
sudah menghilang.La Massora memerintahkan kepada seseorang pengawalnya untuk
segerah kembali kekampung untuk menyampaikan kabar gembira ini kerakyat
kerajaan Alitta. La Massora menitip pesan agar rakyatnya mempersiapkan acara
penyambutan untuk bidadari. Maka tua muda, laki-laki,perempuan, orang dewasa
dan anak-anak segerah mempersiapkan acara penyambutan untuk bidadari.Pengawal
La Massora kembali kehutan membawa beberapa orang yang nantinya akan melaksanakan
upacara penyambutan untuk bidadari. Mereka membawa gong, gendang, kanci, bessi
banrangngeng, weroni, titi lagoni,parametti dama, lanra pattola dan lain-lain.
Setibanya di tempat bidadari, merekapun segera melaksanakan upacara penyambutan
. mendengar bunyi-bunyian yang biasanya juga diperdengarkan saat upacara di
kayangan , hati bidadari pun jadi tenang .Selanjutnya la Massora bersama
rombongan mengarak sang bidadari menuju istana kerajaan Alitta . sepanjang
perjalanan tersebut ada beberapa peristiwa terjadi yang berkaitan dengan
penamaan kampung yang dilewati.Pada saat melewati sumur La kempung . rombongan
singgah untuk beristirahat. Tempat ini kelak dikeramatkan oleh orang
Alitta.Melanjutkan perjalanan , kembali rombongan singgah di sumur cacaE untuk
melepaskan dahaga. Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Namun di tengah
perjalanan tiba-tiba sang bidadari merajuk tidak mau melanjutkan perjalanan.
Dia teringat dengan kakak-kakaknya yang telah kembali ke kayangan. Agar
bidadari mau melanjutkan perjalanan ,maka rombongan saling berpegangan tangan
untuk menghalau bidadari agar mau berjalan … Oleh sebab itu, tempat ini
kemudian dinamai ‘’Wala-Walae’’ yang berarti ‘’memagari ‘’ dengan tangan.
Terdesak akhirnya sang bidadari pun berjalan kembali. Namun setelah perjalanan
agak jauh barulah dia mau berjalan tanpa dihalau. Oleh sabab itu, rombongan
melepaskan tangan dan membiarkan bidadari berjalan sendiri. Peristiwa
‘’melepaskan pegangan tangan ‘’, maka kampong itu di namai kampung
‘’pallereang’’ yang artinya ‘ melonggarkan ‘. Rombongan meninggalkan kampung
pallereang menuju kearah utara. Sesampainya di sebuah sungai , kembali sang bidadari
menolak berjalan ia hanya berdiri dan tidak mau bergerak ‘’Majjojjo’’. Sehingga
dinamailah tempat itu Lajojjorang .Perjalanan kembali dilanjutkan setelah sang
bidadari sudah bersedia berjalan . Namun setelah berjalan sekian lama, sang
bidadari berhenti dan meminta agar rambutnya di sisir . Maka tempat itu di
namai ‘’ Lamajjakka ‘’ yang berarti ‘’bersisir ‘’. Setelah rambutnya disisir
barulah sang bidadari mau berjalan kembali. Tiba di suatu tempat pengawal
Lamassora menancapkan sebatang besi ke tanah (bessi banrangeng), maka
dinamailah tempat tersebut kampung ‘’Labessi ‘’. Besi dalam bahasa Bugis
disebut bessi. Selanjutnya rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju
istana. Berhubung sudah dekat dengan pemukiman , maka Lamassora memerintahkan
rombongan untuk memakai pakaian berwarna merah untuk melaksanakan upacara
penyambutan. Oleh sebab itu tempat ini dinamai kampung ‘’ejaE ‘’. Dalam bahasa
Bugis setempat berarti merah. Setelah pemukiman semakin dekat, tiba-tiba
bidadari kembali menolak untuk melanjutkan perjalanan, karna sudah dekat
pemukiman , maka mulailah dibunyikan ‘’ genrang tellu ‘’ . ternyata setelah
mendengar bunyi ‘’ genrang tellu ‘’ tersebut diapun berjalan kembali. Genrang
tellu biasa dibunyikan pula pada upacara-upacara di kayangan. Maka dinamakanlah
tempat tersebut sebagai kampong ‘’Laganrang ‘’. Sampailah rombongan di suatu
tempat yang menurun, sehingga dari jauh dapat dilihat kedatangan masyarakat
yang berbondong-bondong seperti air yang mengalir menyambut kedatangan
rombongan La Massora yang membawa sang bidadari. Oleh sebab itu tempat tersebut
kemudian di namai kampung ‘’Solorengnge’’. Karna rakyat kerajaan Alitta
‘’Massolo’’ menyambut kedatangan bidadari. Massolo dalam bahasa Bugis berarti
mengalir.Tiba dipinggir pemukiman,rakyat kerajaan Alitta segera mengerumuni
sang bidadari.Mereka ingin melihat dari dekat wajah bidadari yang cantik
jelita.Oleh sebab itu tempat tersebut dinamai kampong”Lapakkita”yang
berarti”melihat”karena dikerumuni oleh banyak orang,maka sang bidadari pun kembali
untuk berjalan namun sang bidadari mengajukan satu permintaan,yaitu agar
dibuatkan sebuah sumur ditempat tersebut.Maka dibuatkanlah sang bidadari sebuah
sumur.Karena sumur dibuat dikampung Lapakkita,maka disebut sumur
Lapakkita.Setelah dibuatkan sumur untuknya,maka dia mulai berjalan.sumur
Lapakkita hingga sekarang masih dikeramatkan.Pada hari senin dan kamis,masih
ada masyarakat yang datang bersiarah adapun melaksanakan nazarnya.sumur
Lapakkita ini tetap berisi air walaupun musim kemarau dan sumur disekitarnya
mulai kering.Akhirnya tibalah rombongan di istana.selanjutnya disiapkan acara
pernikahan antara La Massora dengan sang bidadari.Di undanglah penghulu ke
istana untuk melaksanakan pernikahan antara La Massora dengan bidadari.Kepada
sang bidadari diberikan nama We Bungko sebab dia paling muda atau bungsu dari
bidadari lainnya.Bungko dalam bahasa bugis berarti bungsu.Namun ada juga yang
menyatakan bahwa nama sebenarnya dari bidadari tersebut yaitu We Cudai.Dari
pernikahan La Massora dengan We Bungko atau We Cudai lahirlah seorang putera
bernama La Baso atau We Wewang Riu. untuk mengasuh La Baso maka La Masora
mempercayakan adik perempuannya.Pada suatu hari,saat La Massora pergi
berburu.La Baso menangis tidak henti-hentinya untuk menenangkan keponakannya,maka
dia pun menyanyi dengan syair sebagai berikut:“Iyo-iyo La
Baso,ajammuddaju-raju. tuwoku mallongi-longi. aja muddaju-raju.tengnginangmu
tenggaamangmu. tettana sitekkemu.”Artinya wahai La Baso.Janganlah engkau cengeng.Semoga
engkau panjang umur.tidak ada ibu.Tidak ada ayahmu.Tidak ada tanah gegangmu
Mendengar syair lagunya, We Bungko tersinggung. Ia merasa iparnya sengaja
menyindir dirinya. Maka ia berucap “ saya tahu bahwa di dunia ini saya hanya
sebatang kara. Tetapi takdirkulah sehinggah harus berada di dunia ini “,
setelah itu sang bidadari masuk kekamarnya. Ia membungkus sekujur tubuhnya
mulai ujung kaki hinggah kepala.Sepulang berburu, lamassora menemui istrinya d
kamar. Melihat sikap isterinya, yang tidak seperti biasanya dengan meneyelimuti
seluruh badannya, maka La Massora bertanya “ ada apa sehinggah dinda seperti
ini ?Mengetahui suaminya sudah pulang We bungko segerah bangun dan menceritakan
tentang syair lagu adik iparnya tadi. Ia berkata “ benar di dunia ia hanya
sebatang kara. Tidak ber ibu, tidak ber bapak tidak punya saudara dan serta
berharta, tetapi karena takdirkulah maka harus kujalani”.Alangkah murkanya La
Massora setelah mendengar ucapan isterinya tersebut. Ia segerah mencari adiknya
untuk menanyakan apa maksudnya dengan menyanyikan lagu seperti itu. Melihat
kakaknya datang dengan raut muka yang sangat marah. Adik La Massora itupun
segerah melarikan diri hingga tiba di Bonto Putju. Ia tidak pernah lagi kembali
ke Alitta. Ia wafat di sana dan di beri gelar Petta BaraE.We Bungko yang terlanjur
sakit hati memutuskan untuk kembali ke kahyangan. Bertepatan dengan itu
turunlah bianglala di hutan tempatnya dulu di temukan oleh La Massora. Sebelum
berangkat ia menitipkan pakaian yang dulu dia pakai saat di temukan oleh La
Massora. Ia menitip pesan untuk suaminya sebagai berikut :“ Tolong sampaikan ke
baginda agar menyimpan pakaianku ini sebagai penggati diriku, dan aku titipkan
La Baso kepadanya ! “. Setelah berkata demikian ia segerah masuk hutan dengan
perasaan penuh kesedihan karena harus meninggalkan suami dan anaknya yang sangat
di cintainya. Ia tidak bisa membawa serta La Baso ke kayangan karena ayahnya La
Baso manusia biasa. Setelah tiba di hutan ia segerah menuju ke bianglala yang
akan membawanya kembali ke kayangan.Sementara itu La Massora yang telah pulang
mencari adiknya, tidak menemukan isterinya. Ia sudah mencarinya ke seluruh
bagian istana. Tak seorangpun berani menyampaikan kepergian We Bungko ke
baginda raja. Setelah La Massora bertanya, barulah berani menyampaikan
kejadiannya. Tidak lupa menyampaikan pesan We Bungkokepada baginda. Betapa
sedih hati La Massora kabar tersebut. Setiap hari La Massora kehutan tempat dia
menemukan We Bungko dahulu. Ia berharap bisa bertemu kembali dengan We Bungko.
Namun hanya kekecewaan yang di perolehnya, karena para bidadari itu tidak
pernah lagi datang.Hinggah suatu malam, baginda La Massora bermimpi di datangi
oleh We Bungko. Dalam mimpinya tersebut We Bungko berpesan agar La Massora
tidak lagi mencarinya. Mereka tidak mungkin lagi bersama ia telah kembali ke kahyangan.
Sedangkan La Massora hanya manusia biasa sehinggah tidak mungkin bisa tinggal
di kayangan. We Bungko juga berpesan agar La Massora menjaga La Baso
baik-baik”. Jika baginda ingin bertemu denganku datanglah kesumur lapakkita.
Duduklah pada batu disisi sumur La Pakkita, kenakkan pakaian yang berwarna
hitam dan topi daun nipa pada siang bolong di hari jumat. “ kata We Bungko
kepada La Massora setelah itu dia menghilang dan La Massora terbangun. Betapa
gundah hati La Massora karena ia tahu tidak mungkin lagi berkumpul dengan
isterinya.Maka setiap hari jumat di siang bolong, La Massora berangkat kesumur
Lapakkita dengan berpakaian hitam dan bertopi daun nipa untuk bertemu We
Bungko. Hingga suatu hari sang bidadari meminta La Massora untuk tidak perlu
lagi mencarinya. Bahkan ia memintanya untuk segera mencari isteri yang baru
dari kalangan manusia.Sejak itu sang bidadari tidak pernah lagi datang menemui
La Massora. Maka La Massora mengatar La Baso ke kerajaan Gowa. Ia mau
menitipkan La Baso ke Raja Gowa agar didik seperti dirinya dahulu. Setelah itu
ia menuju ke Sawitto dan menikahi We Passule Daeng Bulaeng Addatuang Sawitto.
We Passule Daeng BUlaeng inilah kelak mengislamkan kerajaan Sawitto pada tahun
1609 M yang di sebarkan oleh kerajaan gowa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar