Selasa, 19 Juni 2012

Bidadari dan Sumur Lapakkita Alitta


Alkisah, ketika ibundanya We Cella Arung Alitta 1 mangkat, maka La Massora kembali ke Alitta. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke kerajaan gowa dan akan menetap di Alitta. La Massora menghabiskan masa kecil hinggah dewasa di kerajaan Gowa. Sebab saat La Massora kecil datanglah Raja Gowa Tunipallangga Ulaweng ke Alitta, Suppa dan Sawitto dengan maksud
ingin menguasainya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1566 M. saat Karaeng Tunippalangga Ulaweng kembali ke kerajaan Gowa, dia membawa serta La Massora. Dia membesarkan La Massora bersama anak bangsawan Gowa lainnya. Bahkan saat raja Gowa memeluk agama islampada tahun 1024 M , La Massora ikut mengucapkan dua kalimat syahadat,di sekitar tahun 1603 M, ibunda La Massora wafat, sehinggah La Massora memutuskan untuk kembali dan menetap di Alitta.Seprti umunya bangsawan Bugis-Makassar, maka La Massora mempunyai hobbi berburu, bahkan sejak menetap di Alitta, La Massora makin sering masuk ke hutan untuk berburu, setiap La Massora berburu dia di temani anjing hitam kesayangannya. Ia juga sering d temani seorang kakek tua yang hobbinya berburu ayam hutan.Namun pada suatu hari kakek tua itu pergi berburu ayam hutan sendiri, saat kakek tua itu sedang menunggu jebakan jerat menjerat ayam hutan, sayup-sayup ia mendengar suara gadis yang sedang tertawa dan kadang d selingi gonggongan anjing yang sepertinya sering ia dengar, sang kakek tua pun segera mencari asal suara itu. Alangkah terkejutnya saat melihat tujuh orang Bidadari mandi dan bersenda gurau, bidadari itu mandi pada sumur yang berbeda, masing-masing dengan satu sumur satu orang dan ternyata suara anjing itu berasal dari seekor anjing berwarna hitam yang sangat di kenalnya. Anjing itu milik Raja Alitta yang selalu menghilang setiap malam jumat dan baru kembali pada hari jumat sore.Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, maka sang kakek tua segerah ke istana kerajaan Alitta menghadap raja, kakek tua lalu menyampaikan dengan apa yang dilihatnya di hutan serta keberajaan anjing baginda, mendengar kabar itu, La Massora raja Alitta pun jadi penasaran, apakah karena menghilangnnya anjing kesayangannya setiap malam jumat hinggah jumat sore baru kembali ada hubungannya dengan para bidadari tersebut, apalagi setiap anjingnya pulang ia mencium bau yang sangat harum, La Massora pun memutuskan menyelidiki kejadian tersebut.Pada malam jumat berikutnya, La Massora tidak lagi melepaskan anjingnya. Keesokankan harinya pada hari jumat dengan disampinging sang kakek tua dan pengawal kepercayaanya serta anjing kesayangannya masuk kehutan untuk membuktikan cerita sang kakek tentang anak bidadari dan anjingnya. Mereka segera menuju ketempat sang kakek tua menemukan bidadari tersebut. Sesampainya di sana, mereka segera mencari tempat persembunyian yang aman. Pada saat tengah hari tiba-tiba kabutpun turun menyelimuti tempat itu. Tidak lama kemudian turun bianglala dan muncullah tujuh orang bidadari yang cantik jelita. Setiap bidadari segera menuju satu sumur dan segera mandi. Para bidadari itu bermain dan bercanda sambil mandi. Tercium bau yang harum semerbak disekitar tempat tersebut.Melihat kedatangan bidadari,. Maka anjing La Massora mulai gelisah. Baginda melepaskan anjingnya untuk melihat apa yang akan dilakukannya ternyata anjing serta merta berlari menuju ke anak bidadari mandi. Ketujuh anak bidadari itu nampaknya sudah tidak asing dengan anjing sang raja, sehinggah kedatangannya disambut gembira. Bahkan ikut bermain bersama ke tujuh bidadari yang cantik jelita dan sesekali menggonggong dalam hati La Massora berkata pantas setiap kali anjingku pulang setelah menghilang pada malam jumat, baunya sangat harum, ternyata berasal dari bau para bidadari.La Massora memnperhatikan tingkah laku anjingnya bersama sang bidadari tanpa berkedip. Tiba-tiba berkatalah bidadari yang sulung kepada adik-adiknya” mandilah kalian cepat, saya mencium bau manusia di tempat ini “. Maka merekapun bergegas mengenakkan pakaian masing-masing. Sedangkan si bungsu karena begitu asyiknya mandi dan bermain. Kesempatan itu oleh La Massora untuk mengambil pakaian bidadari yang bungsu. Sementara itu bianglala sudah muncul dari keenam bidadari lainnya segerah menuju kesana untuk kembali kekahyangan.Setelah puas mandi, maka bidadari bungsu pun segerah mencari pakaianya. Alangkah kagetnya sang bidadari karena ternyata pakaiannya sudah tidak ada dia pun jadi Panik setelah menyadari kakak-kakaknya sudah tidak ada , sang bidadari bungsu melihat keenam kakaknya sudah sudah berada di bianglala untuk kembali kekayangan. Maka bidadari bungsu menangis dan berteriak sekeras-kerasnya memanggil kakak-kakaknya. Namun keenam kakaknya tidak bisa membantunya karena bianglala itu sudah bergerak kembali kekayangan. Sementara itu La Massora pun secepat kilat melompat menangkap sang bidadari yang terus meronta-ronta ingin melepaskan diri. Akhirnya bidadari itu hanya pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena biang lala dan kakaknya sudah menghilang.La Massora memerintahkan kepada seseorang pengawalnya untuk segerah kembali kekampung untuk menyampaikan kabar gembira ini kerakyat kerajaan Alitta. La Massora menitip pesan agar rakyatnya mempersiapkan acara penyambutan untuk bidadari. Maka tua muda, laki-laki,perempuan, orang dewasa dan anak-anak segerah mempersiapkan acara penyambutan untuk bidadari.Pengawal La Massora kembali kehutan membawa beberapa orang yang nantinya akan melaksanakan upacara penyambutan untuk bidadari. Mereka membawa gong, gendang, kanci, bessi banrangngeng, weroni, titi lagoni,parametti dama, lanra pattola dan lain-lain. Setibanya di tempat bidadari, merekapun segera melaksanakan upacara penyambutan . mendengar bunyi-bunyian yang biasanya juga diperdengarkan saat upacara di kayangan , hati bidadari pun jadi tenang .Selanjutnya la Massora bersama rombongan mengarak sang bidadari menuju istana kerajaan Alitta . sepanjang perjalanan tersebut ada beberapa peristiwa terjadi yang berkaitan dengan penamaan kampung yang dilewati.Pada saat melewati sumur La kempung . rombongan singgah untuk beristirahat. Tempat ini kelak dikeramatkan oleh orang Alitta.Melanjutkan perjalanan , kembali rombongan singgah di sumur cacaE untuk melepaskan dahaga. Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba sang bidadari merajuk tidak mau melanjutkan perjalanan. Dia teringat dengan kakak-kakaknya yang telah kembali ke kayangan. Agar bidadari mau melanjutkan perjalanan ,maka rombongan saling berpegangan tangan untuk menghalau bidadari agar mau berjalan … Oleh sebab itu, tempat ini kemudian dinamai ‘’Wala-Walae’’ yang berarti ‘’memagari ‘’ dengan tangan. Terdesak akhirnya sang bidadari pun berjalan kembali. Namun setelah perjalanan agak jauh barulah dia mau berjalan tanpa dihalau. Oleh sabab itu, rombongan melepaskan tangan dan membiarkan bidadari berjalan sendiri. Peristiwa ‘’melepaskan pegangan tangan ‘’, maka kampong itu di namai kampung ‘’pallereang’’ yang artinya ‘ melonggarkan ‘. Rombongan meninggalkan kampung pallereang menuju kearah utara. Sesampainya di sebuah sungai , kembali sang bidadari menolak berjalan ia hanya berdiri dan tidak mau bergerak ‘’Majjojjo’’. Sehingga dinamailah tempat itu Lajojjorang .Perjalanan kembali dilanjutkan setelah sang bidadari sudah bersedia berjalan . Namun setelah berjalan sekian lama, sang bidadari berhenti dan meminta agar rambutnya di sisir . Maka tempat itu di namai ‘’ Lamajjakka ‘’ yang berarti ‘’bersisir ‘’. Setelah rambutnya disisir barulah sang bidadari mau berjalan kembali. Tiba di suatu tempat pengawal Lamassora menancapkan sebatang besi ke tanah (bessi banrangeng), maka dinamailah tempat tersebut kampung ‘’Labessi ‘’. Besi dalam bahasa Bugis disebut bessi. Selanjutnya rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju istana. Berhubung sudah dekat dengan pemukiman , maka Lamassora memerintahkan rombongan untuk memakai pakaian berwarna merah untuk melaksanakan upacara penyambutan. Oleh sebab itu tempat ini dinamai kampung ‘’ejaE ‘’. Dalam bahasa Bugis setempat berarti merah. Setelah pemukiman semakin dekat, tiba-tiba bidadari kembali menolak untuk melanjutkan perjalanan, karna sudah dekat pemukiman , maka mulailah dibunyikan ‘’ genrang tellu ‘’ . ternyata setelah mendengar bunyi ‘’ genrang tellu ‘’ tersebut diapun berjalan kembali. Genrang tellu biasa dibunyikan pula pada upacara-upacara di kayangan. Maka dinamakanlah tempat tersebut sebagai kampong ‘’Laganrang ‘’. Sampailah rombongan di suatu tempat yang menurun, sehingga dari jauh dapat dilihat kedatangan masyarakat yang berbondong-bondong seperti air yang mengalir menyambut kedatangan rombongan La Massora yang membawa sang bidadari. Oleh sebab itu tempat tersebut kemudian di namai kampung ‘’Solorengnge’’. Karna rakyat kerajaan Alitta ‘’Massolo’’ menyambut kedatangan bidadari. Massolo dalam bahasa Bugis berarti mengalir.Tiba dipinggir pemukiman,rakyat kerajaan Alitta segera mengerumuni sang bidadari.Mereka ingin melihat dari dekat wajah bidadari yang cantik jelita.Oleh sebab itu tempat tersebut dinamai kampong”Lapakkita”yang berarti”melihat”karena dikerumuni oleh banyak orang,maka sang bidadari pun kembali untuk berjalan namun sang bidadari mengajukan satu permintaan,yaitu agar dibuatkan sebuah sumur ditempat tersebut.Maka dibuatkanlah sang bidadari sebuah sumur.Karena sumur dibuat dikampung Lapakkita,maka disebut sumur Lapakkita.Setelah dibuatkan sumur untuknya,maka dia mulai berjalan.sumur Lapakkita hingga sekarang masih dikeramatkan.Pada hari senin dan kamis,masih ada masyarakat yang datang bersiarah adapun melaksanakan nazarnya.sumur Lapakkita ini tetap berisi air walaupun musim kemarau dan sumur disekitarnya mulai kering.Akhirnya tibalah rombongan di istana.selanjutnya disiapkan acara pernikahan antara La Massora dengan sang bidadari.Di undanglah penghulu ke istana untuk melaksanakan pernikahan antara La Massora dengan bidadari.Kepada sang bidadari diberikan nama We Bungko sebab dia paling muda atau bungsu dari bidadari lainnya.Bungko dalam bahasa bugis berarti bungsu.Namun ada juga yang menyatakan bahwa nama sebenarnya dari bidadari tersebut yaitu We Cudai.Dari pernikahan La Massora dengan We Bungko atau We Cudai lahirlah seorang putera bernama La Baso atau We Wewang Riu. untuk mengasuh La Baso maka La Masora mempercayakan adik perempuannya.Pada suatu hari,saat La Massora pergi berburu.La Baso menangis tidak henti-hentinya untuk menenangkan keponakannya,maka dia pun menyanyi dengan syair sebagai berikut:“Iyo-iyo La Baso,ajammuddaju-raju. tuwoku mallongi-longi. aja muddaju-raju.tengnginangmu tenggaamangmu. tettana sitekkemu.”Artinya wahai La Baso.Janganlah engkau cengeng.Semoga engkau panjang umur.tidak ada ibu.Tidak ada ayahmu.Tidak ada tanah gegangmu Mendengar syair lagunya, We Bungko tersinggung. Ia merasa iparnya sengaja menyindir dirinya. Maka ia berucap “ saya tahu bahwa di dunia ini saya hanya sebatang kara. Tetapi takdirkulah sehinggah harus berada di dunia ini “, setelah itu sang bidadari masuk kekamarnya. Ia membungkus sekujur tubuhnya mulai ujung kaki hinggah kepala.Sepulang berburu, lamassora menemui istrinya d kamar. Melihat sikap isterinya, yang tidak seperti biasanya dengan meneyelimuti seluruh badannya, maka La Massora bertanya “ ada apa sehinggah dinda seperti ini ?Mengetahui suaminya sudah pulang We bungko segerah bangun dan menceritakan tentang syair lagu adik iparnya tadi. Ia berkata “ benar di dunia ia hanya sebatang kara. Tidak ber ibu, tidak ber bapak tidak punya saudara dan serta berharta, tetapi karena takdirkulah maka harus kujalani”.Alangkah murkanya La Massora setelah mendengar ucapan isterinya tersebut. Ia segerah mencari adiknya untuk menanyakan apa maksudnya dengan menyanyikan lagu seperti itu. Melihat kakaknya datang dengan raut muka yang sangat marah. Adik La Massora itupun segerah melarikan diri hingga tiba di Bonto Putju. Ia tidak pernah lagi kembali ke Alitta. Ia wafat di sana dan di beri gelar Petta BaraE.We Bungko yang terlanjur sakit hati memutuskan untuk kembali ke kahyangan. Bertepatan dengan itu turunlah bianglala di hutan tempatnya dulu di temukan oleh La Massora. Sebelum berangkat ia menitipkan pakaian yang dulu dia pakai saat di temukan oleh La Massora. Ia menitip pesan untuk suaminya sebagai berikut :“ Tolong sampaikan ke baginda agar menyimpan pakaianku ini sebagai penggati diriku, dan aku titipkan La Baso kepadanya ! “. Setelah berkata demikian ia segerah masuk hutan dengan perasaan penuh kesedihan karena harus meninggalkan suami dan anaknya yang sangat di cintainya. Ia tidak bisa membawa serta La Baso ke kayangan karena ayahnya La Baso manusia biasa. Setelah tiba di hutan ia segerah menuju ke bianglala yang akan membawanya kembali ke kayangan.Sementara itu La Massora yang telah pulang mencari adiknya, tidak menemukan isterinya. Ia sudah mencarinya ke seluruh bagian istana. Tak seorangpun berani menyampaikan kepergian We Bungko ke baginda raja. Setelah La Massora bertanya, barulah berani menyampaikan kejadiannya. Tidak lupa menyampaikan pesan We Bungkokepada baginda. Betapa sedih hati La Massora kabar tersebut. Setiap hari La Massora kehutan tempat dia menemukan We Bungko dahulu. Ia berharap bisa bertemu kembali dengan We Bungko. Namun hanya kekecewaan yang di perolehnya, karena para bidadari itu tidak pernah lagi datang.Hinggah suatu malam, baginda La Massora bermimpi di datangi oleh We Bungko. Dalam mimpinya tersebut We Bungko berpesan agar La Massora tidak lagi mencarinya. Mereka tidak mungkin lagi bersama ia telah kembali ke kahyangan. Sedangkan La Massora hanya manusia biasa sehinggah tidak mungkin bisa tinggal di kayangan. We Bungko juga berpesan agar La Massora menjaga La Baso baik-baik”. Jika baginda ingin bertemu denganku datanglah kesumur lapakkita. Duduklah pada batu disisi sumur La Pakkita, kenakkan pakaian yang berwarna hitam dan topi daun nipa pada siang bolong di hari jumat. “ kata We Bungko kepada La Massora setelah itu dia menghilang dan La Massora terbangun. Betapa gundah hati La Massora karena ia tahu tidak mungkin lagi berkumpul dengan isterinya.Maka setiap hari jumat di siang bolong, La Massora berangkat kesumur Lapakkita dengan berpakaian hitam dan bertopi daun nipa untuk bertemu We Bungko. Hingga suatu hari sang bidadari meminta La Massora untuk tidak perlu lagi mencarinya. Bahkan ia memintanya untuk segera mencari isteri yang baru dari kalangan manusia.Sejak itu sang bidadari tidak pernah lagi datang menemui La Massora. Maka La Massora mengatar La Baso ke kerajaan Gowa. Ia mau menitipkan La Baso ke Raja Gowa agar didik seperti dirinya dahulu. Setelah itu ia menuju ke Sawitto dan menikahi We Passule Daeng Bulaeng Addatuang Sawitto. We Passule Daeng BUlaeng inilah kelak mengislamkan kerajaan Sawitto pada tahun 1609 M yang di sebarkan oleh kerajaan gowa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar