Gunung Latimojong, namanya memang tak setenar gunung- gunung
lain seperti Semeru, Rinjani, Carstenz, Bromo dan gunung – gunung lain yang
menjadi destinasi favorit para pendaki. Juga tidak mempunyai spot terkenal
seperti Ranukumbolo ataupun Segara anak yang menjadi surga para pendaki. Namun
tetap, Latimojong mempunyai eksotisme dan keunikan tersendiri yang tak dapat
ditemui digunung – gunung lain. Selain itu Pegunungan yang membentang luas di
sebelah utara provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki puncak yang tertinngi di
Pulau Sulawesi yang diabadikan namanya menjadi salah satu dari “seven summits
Indonesia”. Puncak Rantemario, dalam bahasa setempat kata “rante” dapat
diartikan sebagai tanah dan “mario” berarti gembira atau bahagia. Jadi sesuai
dengan namanya puncak yang memiliki ketinggian 3478 mdpl ini akan memberikan
kebahagiaan ketika berhasil memijakkan kaki diatasnya. Dan menurut rekan serta beberapa artikel yang
saya baca Gunung Latimijong ini memiliki pemandangan yang sangat indah yang
membuat kita takjub, hal yang membuat saya tertantang untuk menjelajahi dan
menyaksikan keindahannya melalui mata kepala sendiri.
Dalam melakukan pendakian ini saya bersama rombongan
yang
berjumlah 7 orang. 5 orang diantaranya adalah anggota UKM Mapala Salawat
Universitas Muhammadiyah Parepare yang memang sudah berpengalaman dalam hal
pendakian khususnya di gunung Latimijong. Kami memulai perjalanan pada hari
Selasa 3 Mei 2016 pukul 17.15, start dari kota Parepare dengan menggunakan
sepeda motor. Sekitar jam 10 malam kami sampai di desa Banti kecamatan Baraka
kabupaten Enrekang dan bermalam disana dirumah salah satu rombongan.
Esoknya, kami melanjutkan perjalanan jam 12.45 menuju desa
Karangan, desa terakhir sebelum memulai pendakian. Setelah melewati jalanan
yang kadang berbatu dan kadang berlumpur juga disertai dengan timbulnya masalah
pada beberapa motor yang kami kendarai, akhirnya kami sampai di desa Karangan
tepat pukul 23.00. Kami bermalam di salah satu rumah penduduk bernama Pak Simen
yang memang rumahnya sering dijadikan pos oleh para pendaki. Sesampainya disana
ternyata Rumah pak Simen sudah ramai oleh para pendaki baik yang baru akan
memulai pendakian esok maupun yang telah melakukan pendakian. Beberapa diantara
mereka adalah rombongan mahasiswa pecinta alam dari Makassar dan ada pula
beberapa yang berasal dari luar Sulawesi. Setelah ngopi dan ngobrol bareng pak
Simen dan para pendaki lainnya kami pun istrahat untuk mempersiapkan stamina
pendakian besok.
|
Foto bersama Pak Simen dan keluarga |
Kamis 5 Mei setelah sarapan dan mempersiapkan keperluan kamipun
berdoa bersama dan memulai pendakian jam 08.30. Matahari yang mulai terik dan
tanjakan yang cukup terjal dengan kemiringan 50-70 derajat selama perjalanan
menuju pos 1 sudah cukup membuat ngos-ngosan. Dijalur ini awalnya kami melewati
perkebunan kopi milik penduduk lalu kemudian melewati pinggiran bukit yang
disebelah kirinya Salu (sungai) Karangan mengalir cukup deras. Akhirnya kami
sampai di pos 1 yang bernama Buntu Kaciling pada pukul 10.45. Pos 1 ini berada
di ketinggian 1800 mdpl, terletak diatas bukit yang terbuka dan cukup datar
untuk kami tempati beristirahat sejenak. Disini kita bisa melihat jejeran rumah
desa Karangan dari kejauhan serta areal perkebunan kopi dan cengkeh milik para
penduduk.
|
Pos 1 |
Karena matahari semakin terik kamipun melanjutkan perjalanan
menuju pos 2. Di jalur menuju pos 2 ini melalui punggungan bukit dan mulai
masuk kedalam hutan. Jalur yang tidak terlalu menanjak dan bahkan melewati
beberapa penurunan serta rimbunnya pepohonan membuat kami semakin bersemangat tapi
tetap hati – hati karena disebelah kiri terdapat jurang yang cukup dalam. Namun
sebelum sampai di pos 2 harus melewati jalur yang lumayan ekstrim berupa
jembatan bambu dan juga menuruni beberapa tebing batu dengan berpegangan pada
akar – akar pohon. Pukul 12.30 kami sampai di pos 2 bernama Gua Sarung
Pakpak. Di Pos 2 ini terlihat beberapa
tenda rombongan pendaki lain karena pos 2 ini merupakan areal datar yang berada
di pinggir sungai dan terdapat cerukan batu yang sangat besar sehingga sangat ideal
untuk dijadikan tempat camp dan bermalam.
Setelah mengisi tempat air minum dan beristrahat sejenak
kami kembali melanjutkan pendakian menuju pos 3. Dan ternyata, inilah jalur
yang paling menantang selama pendakian gunung Latimojong ini. Jalur yang sangat terjal dan hampir tegak
menanti pendakian kami. Dengan kemiringan hampir 80 derajat yang merupakan
bebetuan lepas dan licin seringkali kami menggunakan tangan dan berpegangan
pada akar – akar pohon. Kami harus menghindari akar yang rapuh dan memilih akar
yang kuat agar tidak terjatuh. Ditengah – tengah perjuangan melewati jalur ini
kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki yang sudah turun dari puncak. Setelah
berjuang melewati jalur tejal yang sangat menguras stamina ini kamipun sampai
di pos 3 dengan nafas yang terengah – engah pada pukul 13.30. Pos 3 ini bernama
Lantang Nase berupa areal datar sekitar 3x3 meter yang berada di ketinggian
1.940 mdpl.
Setelah kembali mengumpulkan stamina kami kembali
melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Jalur yang kemiringannya sudah menurun
menjadi 60 – 70 derajat namun rute yang lebih panjang. Kamipun sampai di pos 4
yang bernama Buntu Lebu pukul 15.00.Pos 4 ini berada pada ketinggian 2.140 mdpl.
|
Pos 4 |
Perjalanan dilanjutkan menuju pos 5, disini hutan yang kami lewati semakin
lebat dan sudah mulai berlumut. Dengan jarak yang lumayan jauh, stamina yang
sudah telah terkuras, perut yang mulai keroncongan, kaki yang beberapa kali
mengalami kram dan persediaan air minum yang sudah sangat menipis membuat
perjalanan menuju pos 5 ini terasa agak lama. Akhirnya kamipun pun sampai dipos
5 bernama Soloh Tama yang berada di ketinggian 2.480 mdpl pada pukul 17.00. Di
pos 5 ini ternyata sudah sangat ramai ketika kami sampai, puluhan tenda milik
pendaki lain sudah berdiri tegak. Untungnya kami masih bisa menemukan tempat
yang cukup bagus untuk mendirikan 2 tenda untuk rombongan kami untuk tempat
bermalam. Memang, pos 5 ini tempat
bermalam yang cukup ideal untuk para pendaki karena berada di punggungan bukit
yang datar yang tertutupi rerimbunan pohon dan memiliki sumber air. Setelah
mendirikan tenda, kamipun menyiapkan santapan untuk perut yang dari tadi sudah
keroncongan. Setelah makan, kami menyempatkan sejenak untuk bercengkrama dengan
rombongan lain yang juga camp di pos 5 ini. Tak terasa hari semakin malam, hawa
dingin semakin menusuk sampai ditulang serta rasa letih setelah berjalan
seharian membuat mata mulai mengantuk.
|
Mendirikan tenda (pos 5) |
|
Lets dinner (pos 5) |
|
Pos 5 |
Esok harinya, setelah sarapan dan merapikan tenda kami
kembali melanjutkan pendakian pada pukul 09.00. Jalur menuju pos 6 kembali
dengan kemiringan yang cukup menajak yang harus dilalui dengan sangat hati –
hati karena jalur yang sempit di tepi jurang yang curam. Dan parahnya, kabut
mulai turun yang menyebabkan jarak pandang semakin terbatas dan harus disertai
langkah yang harus semakin berhati – hati. Akhirnya kami sampai di pos 6
sekitar pukul 10.30 yang berada pada ketinggian 2.690 MDPL.
|
Pos 6 |
|
Perjalanan menuju pos 6 |
Setelah beristrahat sejenak, pendakian kembali dilanjutkan
menuju pos 7. Jalur tanjakan yang masih tetap dengan kemiringannya yang lumayan
menguras stamina. Perjalanan ke pos 7 menjadi semakin sulit dengan turunnya
gerimis yang menjadikan jalur semakin licin. Tak lama kemudian sampailah kami
diarea yang sangat membuat mata terpana. Tanah, rerumputan juga pepohonan yang
mulai batang, tangkai dan ranting – rantingya serba hijau, yang dikenal dengan
kawasan hutan lumut. Berada di kawasan hutan lumut ini akan membuat kita seolah
– olah berada dalam hutan dari negeri dongeng.
|
Hutan Lumut |
Setelah berfoto beberapa kali di
tempat eksotis ini, kembali kami melanjutkan pendakian. Akhirnya kami sampai di
pos 7 yang bernama Kolong Buntu yang berada pada ketinggian 3.100 MDPL pada
pukul 12.30. Kemudian kami mendirikan tenda karena memang pos 7 ini tempat yang
cukup ideal untuk dijadikan tempat camp karena merupakan area datar yang cukup
lapang untuk beberapa tenda, selain itu juga terdapat sungai kecil mengalir
sekitar 30 m dari tempat camp. Karena cuaca yang tak mendukung akhirnya kami
memutuskan untuk bermalam di pos 7 ini. Bermalam di pos 7 ini merupakan sebuah
pengalaman dan keseruan tersendiri dari pendakian ini. Tidur diatas ketinggian
lebih dari 3000 MDPL, hujan deras yang terus menurus mengguyur tenda, kabut
yang tebal, angin yang bertiup lumayan hebat, dan suhu yang sudah hampir 0
derajat celcius.
|
Pos 7 |
|
Menikmati suasana (pos 7) |
|
Sumber air pos 7 |
Setelah melewati malam yang cukup mencekam akhirnya kami
bersiap menggapai puncak. Cuaca kini berpihak kepada kami, terlihat langit
memamerkan taburan bintang – bintangnya, sayangnya kamera yang saya bawa sangat
tidak memungkinkan untuk berfoto milkway. Dengan badan yang bergetar hebat
karena menggigil kami mulai melanjutkan lagi pendakian menuju puncak pada pukul
04.15. Dan kami lansung dihadapkan dengan tanjakan yang kemiringannya mencapai
80 derajat, ditambah dengan tanah yang licin akibat hujan semalam. Setelah beberapa menit akhirnya jalur
pendakian tidak lagi seterjal tadi dan menjumpai sebuah telaga kecil, juga
beberapa tenda rombongan lain yang ngecamp di sekitar telaga ini. Setelah
melewati telaga jalur yang dilewati terasa tidak terlalu sulit karena kemiringan yang tidak
terlalu menanjak, kadang disertai bonus berupa jalur landai dan ada pula yang
menurun. Beberapa lama kemudian terlihat garis – garis merah di langit timur
mulai terlihat, juga dari kejauhan tugu trianggulasi yang bersanding dengan
bendera merah putih membuat kami semakin bersemangat untuk mencapai puncak
sebelum matahari terbit. Akhirnya dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT
saya diberi kesempatan menginjakkan kaki dan berdiri tepat di atap tanah Sulawesi ini.
Apalagi disertai dengan panorama sekeliling yang membuat
mata terpesona dan penuh takjub serta hati yang sesak dijejali rasa syukur yang
semakin menggunung. Matahari yang terbit disertai goresan “ray of light” yang
membuatnya semakin terlihat indah dan dramatis. Awan - awan yang berombak
melintasi punggung – punggung pegunungan. Penampakan dari jauh wilayah –
wilayah Enrekang, Toraja, Palopo dan Sidrap. Serta tak kalah kerennya Bendera
merah putih yang berkibar – kibar ditiang tertinggi di pulau Sulawesi.
Mendaki Gunung Latimojong ini, perjalanan yang membuat saya
harus beranjak dari zona nyaman dan semakin intim mencumbui diri sendiri.
Memendam lelah, mendidik ego, menghardik stamina, merayu marabahaya, dikelambui
kabut, digerayangi angin, mendaki puncak ambisi, mengantongi gemintang dan
mengintip kahyangan.
|
Puncak tertinggi tanah Sulawesi |
|
Trianggulasi Latimijong puncak Rantemario 3748 MDPL |
|
Selfie di puncak Latimojong |
|
Sunrise Latimojong |
|
Latimojong |
|
Para pendaki Latimojong |
|
Hutan Lumut Latimojong |
|
Penghormatan bendera di tiang tertinggi pulau Sulawesi
|
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar