Selasa, 01 November 2016

Mendaki Gunung Latimojong, Menggapai Atap Sulawesi



Gunung Latimojong, namanya memang tak setenar gunung- gunung lain seperti Semeru, Rinjani, Carstenz, Bromo dan gunung – gunung lain yang menjadi destinasi favorit para pendaki. Juga tidak mempunyai spot terkenal seperti Ranukumbolo ataupun Segara anak yang menjadi surga para pendaki. Namun tetap, Latimojong mempunyai eksotisme dan keunikan tersendiri yang tak dapat ditemui digunung – gunung lain. Selain itu Pegunungan yang membentang luas di sebelah utara provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki puncak yang tertinngi di Pulau Sulawesi yang diabadikan namanya menjadi salah satu dari “seven summits Indonesia”. Puncak Rantemario, dalam bahasa setempat kata “rante” dapat diartikan sebagai tanah dan “mario” berarti gembira atau bahagia. Jadi sesuai dengan namanya puncak yang memiliki ketinggian 3478 mdpl ini akan memberikan kebahagiaan ketika berhasil memijakkan kaki diatasnya. Dan  menurut rekan serta beberapa artikel yang saya baca Gunung Latimijong ini memiliki pemandangan yang sangat indah yang membuat kita takjub, hal yang membuat saya tertantang untuk menjelajahi dan menyaksikan keindahannya melalui mata kepala sendiri.
Dalam melakukan pendakian ini saya bersama rombongan
yang berjumlah 7 orang. 5 orang diantaranya adalah anggota UKM Mapala Salawat Universitas Muhammadiyah Parepare yang memang sudah berpengalaman dalam hal pendakian khususnya di gunung Latimijong. Kami memulai perjalanan pada hari Selasa 3 Mei 2016 pukul 17.15, start dari kota Parepare dengan menggunakan sepeda motor. Sekitar jam 10 malam kami sampai di desa Banti kecamatan Baraka kabupaten Enrekang dan bermalam disana dirumah salah satu rombongan.

Esoknya, kami melanjutkan perjalanan jam 12.45 menuju desa Karangan, desa terakhir sebelum memulai pendakian. Setelah melewati jalanan yang kadang berbatu dan kadang berlumpur juga disertai dengan timbulnya masalah pada beberapa motor yang kami kendarai, akhirnya kami sampai di desa Karangan tepat pukul 23.00. Kami bermalam di salah satu rumah penduduk bernama Pak Simen yang memang rumahnya sering dijadikan pos oleh para pendaki. Sesampainya disana ternyata Rumah pak Simen sudah ramai oleh para pendaki baik yang baru akan memulai pendakian esok maupun yang telah melakukan pendakian. Beberapa diantara mereka adalah rombongan mahasiswa pecinta alam dari Makassar dan ada pula beberapa yang berasal dari luar Sulawesi. Setelah ngopi dan ngobrol bareng pak Simen dan para pendaki lainnya kami pun istrahat untuk mempersiapkan stamina pendakian besok.
Foto bersama Pak Simen dan keluarga

Kamis 5 Mei setelah sarapan dan mempersiapkan keperluan kamipun berdoa bersama dan memulai pendakian jam 08.30. Matahari yang mulai terik dan tanjakan yang cukup terjal dengan kemiringan 50-70 derajat selama perjalanan menuju pos 1 sudah cukup membuat ngos-ngosan. Dijalur ini awalnya kami melewati perkebunan kopi milik penduduk lalu kemudian melewati pinggiran bukit yang disebelah kirinya Salu (sungai) Karangan mengalir cukup deras. Akhirnya kami sampai di pos 1 yang bernama Buntu Kaciling pada pukul 10.45. Pos 1 ini berada di ketinggian 1800 mdpl, terletak diatas bukit yang terbuka dan cukup datar untuk kami tempati beristirahat sejenak. Disini kita bisa melihat jejeran rumah desa Karangan dari kejauhan serta areal perkebunan kopi dan cengkeh milik para penduduk. 
Pos 1

Karena matahari semakin terik kamipun melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Di jalur menuju pos 2 ini melalui punggungan bukit dan mulai masuk kedalam hutan. Jalur yang tidak terlalu menanjak dan bahkan melewati beberapa penurunan serta rimbunnya pepohonan membuat kami semakin bersemangat tapi tetap hati – hati karena disebelah kiri terdapat jurang yang cukup dalam. Namun sebelum sampai di pos 2 harus melewati jalur yang lumayan ekstrim berupa jembatan bambu dan juga menuruni beberapa tebing batu dengan berpegangan pada akar – akar pohon. Pukul 12.30 kami sampai di pos 2 bernama Gua Sarung Pakpak.  Di Pos 2 ini terlihat beberapa tenda rombongan pendaki lain karena pos 2 ini merupakan areal datar yang berada di pinggir sungai dan terdapat cerukan batu yang sangat besar sehingga sangat ideal untuk dijadikan tempat camp dan bermalam. 

Setelah mengisi tempat air minum dan beristrahat sejenak kami kembali melanjutkan pendakian menuju pos 3. Dan ternyata, inilah jalur yang paling menantang selama pendakian gunung Latimojong ini.  Jalur yang sangat terjal dan hampir tegak menanti pendakian kami. Dengan kemiringan hampir 80 derajat yang merupakan bebetuan lepas dan licin seringkali kami menggunakan tangan dan berpegangan pada akar – akar pohon. Kami harus menghindari akar yang rapuh dan memilih akar yang kuat agar tidak terjatuh. Ditengah – tengah perjuangan melewati jalur ini kami bertemu dengan beberapa rombongan pendaki yang sudah turun dari puncak. Setelah berjuang melewati jalur tejal yang sangat menguras stamina ini kamipun sampai di pos 3 dengan nafas yang terengah – engah pada pukul 13.30. Pos 3 ini bernama Lantang Nase berupa areal datar sekitar 3x3 meter yang berada di ketinggian 1.940 mdpl.
Setelah kembali mengumpulkan stamina kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Jalur yang kemiringannya sudah menurun menjadi 60 – 70 derajat namun rute yang lebih panjang. Kamipun sampai di pos 4 yang bernama Buntu Lebu pukul 15.00.Pos 4 ini berada pada ketinggian 2.140 mdpl. 
 
Pos 4
Perjalanan dilanjutkan menuju pos 5, disini hutan yang kami lewati semakin lebat dan sudah mulai berlumut. Dengan jarak yang lumayan jauh, stamina yang sudah telah terkuras, perut yang mulai keroncongan, kaki yang beberapa kali mengalami kram dan persediaan air minum yang sudah sangat menipis membuat perjalanan menuju pos 5 ini terasa agak lama. Akhirnya kamipun pun sampai dipos 5 bernama Soloh Tama yang berada di ketinggian 2.480 mdpl pada pukul 17.00. Di pos 5 ini ternyata sudah sangat ramai ketika kami sampai, puluhan tenda milik pendaki lain sudah berdiri tegak. Untungnya kami masih bisa menemukan tempat yang cukup bagus untuk mendirikan 2 tenda untuk rombongan kami untuk tempat bermalam. Memang,  pos 5 ini tempat bermalam yang cukup ideal untuk para pendaki karena berada di punggungan bukit yang datar yang tertutupi rerimbunan pohon dan memiliki sumber air. Setelah mendirikan tenda, kamipun menyiapkan santapan untuk perut yang dari tadi sudah keroncongan. Setelah makan, kami menyempatkan sejenak untuk bercengkrama dengan rombongan lain yang juga camp di pos 5 ini. Tak terasa hari semakin malam, hawa dingin semakin menusuk sampai ditulang serta rasa letih setelah berjalan seharian membuat mata mulai mengantuk. 
 
Mendirikan tenda (pos 5)

Lets dinner (pos 5)


Pos 5

Esok harinya, setelah sarapan dan merapikan tenda kami kembali melanjutkan pendakian pada pukul 09.00. Jalur menuju pos 6 kembali dengan kemiringan yang cukup menajak yang harus dilalui dengan sangat hati – hati karena jalur yang sempit di tepi jurang yang curam. Dan parahnya, kabut mulai turun yang menyebabkan jarak pandang semakin terbatas dan harus disertai langkah yang harus semakin berhati – hati. Akhirnya kami sampai di pos 6 sekitar pukul 10.30 yang berada pada ketinggian 2.690 MDPL. 
Pos 6

Perjalanan menuju pos 6

Setelah beristrahat sejenak, pendakian kembali dilanjutkan menuju pos 7. Jalur tanjakan yang masih tetap dengan kemiringannya yang lumayan menguras stamina. Perjalanan ke pos 7 menjadi semakin sulit dengan turunnya gerimis yang menjadikan jalur semakin licin. Tak lama kemudian sampailah kami diarea yang sangat membuat mata terpana. Tanah, rerumputan juga pepohonan yang mulai batang, tangkai dan ranting – rantingya serba hijau, yang dikenal dengan kawasan hutan lumut. Berada di kawasan hutan lumut ini akan membuat kita seolah – olah berada dalam hutan dari negeri dongeng. 
 
Hutan Lumut



Setelah berfoto beberapa kali di tempat eksotis ini, kembali kami melanjutkan pendakian. Akhirnya kami sampai di pos 7 yang bernama Kolong Buntu yang berada pada ketinggian 3.100 MDPL pada pukul 12.30. Kemudian kami mendirikan tenda karena memang pos 7 ini tempat yang cukup ideal untuk dijadikan tempat camp karena merupakan area datar yang cukup lapang untuk beberapa tenda, selain itu juga terdapat sungai kecil mengalir sekitar 30 m dari tempat camp. Karena cuaca yang tak mendukung akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di pos 7 ini. Bermalam di pos 7 ini merupakan sebuah pengalaman dan keseruan tersendiri dari pendakian ini. Tidur diatas ketinggian lebih dari 3000 MDPL, hujan deras yang terus menurus mengguyur tenda, kabut yang tebal, angin yang bertiup lumayan hebat, dan suhu yang sudah hampir 0 derajat celcius. 
Pos 7

Menikmati suasana (pos 7)

Sumber air pos 7

Setelah melewati malam yang cukup mencekam akhirnya kami bersiap menggapai puncak. Cuaca kini berpihak kepada kami, terlihat langit memamerkan taburan bintang – bintangnya, sayangnya kamera yang saya bawa sangat tidak memungkinkan untuk berfoto milkway. Dengan badan yang bergetar hebat karena menggigil kami mulai melanjutkan lagi pendakian menuju puncak pada pukul 04.15. Dan kami lansung dihadapkan dengan tanjakan yang kemiringannya mencapai 80 derajat, ditambah dengan tanah yang licin akibat hujan semalam.  Setelah beberapa menit akhirnya jalur pendakian tidak lagi seterjal tadi dan menjumpai sebuah telaga kecil, juga beberapa tenda rombongan lain yang ngecamp di sekitar telaga ini. Setelah melewati telaga jalur yang dilewati terasa tidak  terlalu sulit karena kemiringan yang tidak terlalu menanjak, kadang disertai bonus berupa jalur landai dan ada pula yang menurun. Beberapa lama kemudian terlihat garis – garis merah di langit timur mulai terlihat, juga dari kejauhan tugu trianggulasi yang bersanding dengan bendera merah putih membuat kami semakin bersemangat untuk mencapai puncak sebelum matahari terbit. Akhirnya dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT saya diberi kesempatan menginjakkan kaki dan berdiri tepat di  atap tanah Sulawesi ini.
Apalagi disertai dengan panorama sekeliling yang membuat mata terpesona dan penuh takjub serta hati yang sesak dijejali rasa syukur yang semakin menggunung. Matahari yang terbit disertai goresan “ray of light” yang membuatnya semakin terlihat indah dan dramatis. Awan - awan yang berombak melintasi punggung – punggung pegunungan. Penampakan dari jauh wilayah – wilayah Enrekang, Toraja, Palopo dan Sidrap. Serta tak kalah kerennya Bendera merah putih yang berkibar – kibar ditiang tertinggi di pulau Sulawesi.
Mendaki Gunung Latimojong ini, perjalanan yang membuat saya harus beranjak dari zona nyaman dan semakin intim mencumbui diri sendiri. Memendam lelah, mendidik ego, menghardik stamina, merayu marabahaya, dikelambui kabut, digerayangi angin, mendaki puncak ambisi, mengantongi gemintang dan mengintip kahyangan.

Puncak tertinggi tanah Sulawesi

Trianggulasi Latimijong puncak Rantemario 3748 MDPL

Selfie di puncak Latimojong
Sunrise Latimojong
Latimojong
Para pendaki Latimojong
Hutan Lumut Latimojong

Penghormatan bendera di tiang tertinggi pulau Sulawesi


Silahkan kunjung Instagram untuk melihat galeri di pendakian gunung Latimojong ini dan foto - foto menarik lainnya di @harmadi_halil https://www.instagram.com/harmadi_halil/
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar